Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Selasa, Desember 30, 2008

Pernikahan Sajak

: Kak Eka N Mas Toni

Ada Satu,
sajak yang benam di diri
manusia sedari lahir,
satu saja.

Ketika
kau dewasa,
kau punya sajak
akan membelah dua,
tumpah dari kepala.

: Ia terpesona sajak lain.

Tapi tenanglah,
setengah sajakmu
yang sisa itu
akan ditangkupi
oleh belahan sajak
dari manusia
yang buat kau
terpedaya.

Ia menjadi satu lagi,
Bukan?

Sajak Sepasang Badut

Pria itu pada perempuan:
"sayang, mengapa kau jadi badut? otakmu kini bolong, tak memikirkan apaapa, hanya belanja, belanja,
belanja.."

Perempuan itu pada pria:
"ah, tak berubahubah kau. aku seperti menikahi badut. dompetmu terusterusan kosong, tak punya apaapa. sedang aku harus belanja, belanja,
belanja.."

Suara dalam kepala mereka:
"tak tahan aku, baiknya memang cerai saja."

Mudamudi Dalam Kotak Kaca

Mudamudi itu baru pulang
pesta

mabuk berat
ingin cepat
cepat jengat.

Berpelukan mereka
berciuman pula
bermelankolia
biar hasrat makin bara.

Bambam
musik berdebam
debam.

: wahai, tak kalian lihatkah anak kecil yang membawa mangkuk itu mengetukketuk kaca jendela?

Minggu, Desember 28, 2008

Anak Kecil Yang Tidur di Lorong Kereta

terlelap ia
badannya geletak
di lorong kereta

mulutnya nganga
palanya dongak

entah berapa saja
penumpang,
pedagang,
melangkahi ia punya
: kepala.

Di Kereta Ekonomi Jam Dua Pagi

penumpang lelap
lena di mimpi
hening

sementara, kereta
berlarilari
semakin
cepat.

Peluit Kereta

Hei petualang
tak dengarkah kau?
Itu peluit kereta sudah
bersuara.

Sudah, hentikan opera
pamitpamitan
bersegeralah
: pulang.

Di Stasiun Kereta

orangorang lalulalang
berjejaljejal bawa barang

cemas mereka
kereta tak datang juga.

Jumat, Desember 26, 2008

Tentang Sebuah Harap

Jika kau ingin tahu seberapa besar harapku akanmu

Tanyakan pada bulan yang terpejam di balik awan
yang mengutuk matahari
sembari memimpikan
malam.


Ragu

Kau makin terang. Matahari silau di matamu.

Aku makin redup. Takut oleh cahayamu.
Di mataku, hanya ada ragu
: tentangmu.


Deja Vu

Kau pernah dengar deja vu sayang?
Kau rasa kau pernah menjejak, tapi sebenarnya tak. Kau pikir kau pernah ada di suatu ketika, namun kenyataan tidak.
Itulah
: Deja vu.

Seperti aku terhadap kau, sayang. Rasanya aku pernah mengenalmu, dulu, tapi sebenarnya tak. Kupikir ku pernah memilikimu, namun kenyataan tidak.
Hanya
: Deja vu.

Anakanak Hujan Yang Menari Di Matamu

Hari itu anakanak hujan bermain riang di luar
jatuhjatuh dari langit.

Tapi aku juga temukan mereka
menari girang
di kedua bola matamu.


Kutemukan Lagi Sajakku Di Matamu

Waktuku akhirakhir ini habis, pontangpanting, kesanakemari, mencari sajak. Tadinya kupikir sajak itu ada di kultus rumah Tuhan, di istana rajaraja, atau pasarpasar orang jelata.

Tapi nihil, sajak tak juga ada.

Siapa sangka? Ternyata sajak itu bersembunyi di sini
: di matamu.


Panen Sajak

Di gedung ini,
orangorang alang kepalang,
mereka panen uang.

Di gedung ini pula,
aku tawa gelak,
aku panen sajak!


Rabu, Desember 24, 2008

Kupastikan Aku Tak Mencintaimu Lagi

Hanya ada satu
kata yang terusterusan
berputar di kepalaku

: benci.


Pastikan Bencimu

Cabut panah yang tancap itu,
sulut api yang panas itu
bakar bunga yang semi itu,
dan sebar duri yang tajam itu.

Hingga aku pasti
: kau tidak mencintaiku
lagi..

Kembalikan Sajakku!

Kau boleh menikamku, robekrobek dadaku, mencuri hati, limpa, jantung, memakannya hingga limbung, lalu meminum darahku yang kau tampung di batok kepalaku.

Tapi kumohon satu hal padamu
: kembalikan sajakku!

Kisah Kertaskertas Yang Merengek Minta Diisi

Aku banyak merenung akhirakhir ini
memikirkan kertaskertas sajak
yang merengek minta diisi.

Tapi penaku seperti mati
tak mau bertelur hurufhuruf
enggan beranak katakata.
Sejenak kusadar,
katakataku telah kau bawa


Kau Tenggak Habis Mata Air Puisiku

Mata air puisiku sedang kering, habis kau tenggak, tak bersisa.
Kini aku hanya mengharap, hujan katakata akan mengisi curuknya lagi, hingga penuh.
.

Senin, Desember 22, 2008

Pilihlah Bunga Kesukaanmu

Aku punya setangkai mawar
di tangan kananku.

Tapi layu.

Dan serangkai kamboja segar
di tangan kiriku.

Mana yang kau pilih, sayang?

Mati Sajalah Kau!

Ah, kau tapakkan lagi kaki kotormu di atas kepalaku, meninggalkan jejakjejak, basah dan busuk.

Kenapa tak sekalian saja kau masuki otakku? Lewat coak bernanah yang kau buat.

Lalu susuri urat yang sulursulur, melangkahlah lebih dalam, terus sampai tanah yang penuh lendir.

Sekarang berhentilah mendongak, tataplah ke bawah, di atas tanah yang berlendir itu, di bawah pohon kamboja tua,aku telah menyiapkan hadiah untukmu.

: sebuah nisan bertulis namamu.

Sabtu, Desember 20, 2008

Malam Ini Kukutuk Kau Karena Mencintai Sofa

Aku ingin mengajakmu ke taman kota,
menyambangi kursikursi,
mendengarkan nyanyian sumbang,
menertawai jaman,
lalu mengutuki diri.

Tapi kau selalu enggan.

Rupanya sofasofa itu telah buat kau lupa,
hingga pantatmu enggan beranjak,
lagipula telah lama,
hitungan matahari atau bulan?

Aku lupa.

Tapi rencana adalah rencana,
malam ini aku ke taman kota sendirian,
menyambangi kursikursi,
mendengarkan nyanyian sumbang,
menertawai jaman,
lalu mengutuki
: kau!

Kamis, Desember 18, 2008

ada yang hilang dari diriku

ada yang hilang dari diriku

titiktitik api yang bara
di mata
deru angin yang gemuruh
di dada

ada yang hilang dari diriku

godam besi yang kepal
di tangan
langkah kuda yang tapal
di kaki

ada yang hilang dari diriku
: kau

Panen

Padi menguning,
petani bersuka,
menggantung caping.

Sepi

Puntung menggunung,
asap menggantung,
di luar, jangkrik mengerik.

Jalan Air

Aliran sungai,
menuju laut,
mencari awan.

Rindu

di balik awan,
bulan terpejam,
menunggu malam.

Rabu, Desember 10, 2008

Mabuk

Dua lelaki itu sudah menenggak tiga botol Whisky murahan yang mereka beli di kios minuman pinggir jalan. Setengah kepala mereka telah hilang, nafas mereka hampir tanggal. Tapi salah seorang dari mereka merasa belum cukup.

“Lagi, lagi,” bisik lelaki itu ke lelaki yang lain yang telah tergeletak dan terpejam.

Tapi mimpi seperti telah mencengkeram lelaki yang tergeletak itu. Bisikan lelaki di sebelahnya tak ia pedulikan. Ia malah semakin dalam terpejam.

Lelaki yang berbisik itu tak terima, ia merasa lambungnya belum penuh. Lagipula, ia tak suka kepalanya hanya hilang setengah. Ia terbiasa menenggelamkan seluruh kepalanya dalam minuman, sampai napasnya benar-benar hilang.

“Lagi!!” kini ia berteriak. Tepat di telinga lelaki yang tergeletak itu, yang terlihat mulai menyeriusi mimpi.

Lelaki itu terhenyak, demi teriakan yang membuat telinganya pekak.

“Anjing,” makinya dalam hati.

Ia perlahan beranjak dari geletak. Sembari menahan amarah yang pelan mulai memuncak.

“Jangan berteriak,” ucapnya pelan kepada lelaki yang meneriakinya itu, sambil mengusap biji matanya. Namun ketika matanya telah terbuka, tersadarlah ia. Tak ada orang lain di sekelilingnya.

Ia sendirian.

“Ah, aku mabuk,” ia membisiki dirinya sendiri. Matanya kembali berat, setengah kepalanya kembali hilang, nafasnya kembali tanggal. Tergeletak.

“Lagi, lagi,” sebuah suara berbisik. Tetap ia tergeletak. “Lagi!!” suara bisikan itu berubah menjadi teriakan. Tapi ia terlanjur menyetubuhi mimpi.

Ratus

Meratuslah sayang, tentang hari, pagi hingga petang, detikdetik yang terucap lamatlamat, atapatap yang julang sekatsekat, atau jejakjejak kaki yang lumat.

Lalu mengocehlah lagi, tentang seratus, bilangan yang menguntitmu hingga bulus, koin yang kau lempar sambil geming, dokumendokumen yang bikin pusing, atau anjinganjing yang pesing.

: basmi mereka dengan gunting, sayang.

Dan kini lupalah kau atas semua, kau bakar lagi ratus sesaji untuk surga, berenang lagi kau, tenggelam dalam, cahaya redam, suara padam.

: tidurlah sayang.

Minggu, Desember 07, 2008

Generasi Berak-berak

Isi kepala sama
sampai cara jalan dan berak

: separah inikah kita?

Selasa, Desember 02, 2008

Bukan Musim Katakata

Tadinya ingin kubingkai matari
yang kucuri dari
sebelah biji
matamu.

Tapi nihil,
kau hanya menyimpan malam.

Lalu ingin kurangkai sajaksajak
dari katakata yang
kupetik di taman
di balik juntai
rambutmu.

Tapi urung kata
kata sedang tidak berbunga.

Jumat, November 28, 2008

Sepi Lagi Kawan

Sepi lagi kawan. Seperti kemarin
Hanya ada asbak. Abu yang mulai penuh
Tanah yang belum kering. Dan meja kayu yang berdebu

Kemana saja kalian? Aku sendiri sekarang
Di luar bising. Di dalam hening

Amben bambu yang kita buat. Mulai rapuh dimakan air
Neon merah yang kita beli. Mulai pudar berganti kuning
Tidakkah kalian lihat??

Aku sendiri sekarang. Ini batang rokok terakhir
Laron-laron beterbangan di atas kepala. Menghinggapi lampu yang meredup
Kemana saja kalian?

Pinjamkan Aku MataMu

Aku ingin meminjam mataMu,
sehari saja.

Agar dapat kulihat duniaMu,
dan menjadikannya duniaku,
juga.

Minggu, November 23, 2008

Matematika Yang Berseliweran Di Lampu Merah

Di sini aku belajar matematika:
Lewat gemerincing koin di plastik permen,
di genggaman anak-anak yang berlalu lalang
di bawah angka-angka yang bergerak mundur.

Di sudut yang lain, orang-orang tua: entah orangtua siapa. Kaukah? Menghitung hasil perasan keringat mereka.

Di sini kita belajar matematika:
Dari uang ratusan ribu yang tersimpan,
di dompet yang terselip rapi
dalam celana mahal yang dibeli oleh rengekan.

Di samping kotak-kotak beroda yang berhenti berpacu, seorang pemuda berteriak menawarkan koran. Koran itu memuat gambar orang tua. Judul beritanya: "Si Fulan Tersangkut Korupsi Anu, Kejaksaan Masih Mencari Bukti Baru".

Orang tua itu, orangtua kaukah?

Sabtu, November 22, 2008

Kau Tahu Mengapa Aku Mencintai Malam?

: Megan

1

Karena ketika malam:
asa yang koyak,
dan jenuh yang pekat,
sejenak padam dirajam diam.

2

Karena ketika malam:
dingin yang selaksa,
dan gigil yang sejuta,
sekonyong lebur menyatu kelam.

3

Karena ketika malam:
rindu yang redam,
dan masa-masa yang hilang,
bangkit menyaru tetes-tetes hujan.

4

Karena ketika malam:
jejak-jejak kopi yang pernah kulukis di lehermu,
serta di buku-buku jarimu,
selalu membayang di kain putih yang tersorot lampu.

Rabu, November 19, 2008

Jejak Kopi Yang Kulukiskan Di Lehermu

Di warung kopi ini kau menjelma ingatan,
menyatu debu kursi kayu lapuk,
membayang tiang bambu apus,
pun menggelantung atap-atap rumbia.

Dulu, cangkir kita saling beradu,
berebut tempat dengan asbak abu.
Masihkah kau ingat sayang?

Jejak-jejak kopi kita bawa pulang,
kulukis di lehermu yang jenjang,
kupagut di bibirmu yang pilu.

Ingatkah kau, sayang??

Senin, November 17, 2008

Bolehkah Aku Menitip Bangkai?

Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai seorang tua,
tak berbaju,
tapi lumpur menutupi kelaminnya.

Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai seekor tuan,
belum dikremasi,
tapi tak berbau lagi.

Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai Tuhan,
aku dapat dari surau,
sedang meratapi mimbar.

Jumat, November 14, 2008

Dua Menjadi Satu

Kita, adalah sebuah rangkap yang dipisahkan bingkai.

Aku adalah engkau, kau adalah aku.
Engkau bayanganku, aku bayanganmu.

Pertemuan

Aku bertemu kau,
diriku yang lain,
di bawah langit hitam,
dan juntaian benang,
yang kelap-kelip,
seperti kunang-kunang.

Orang-orang bergumam,
mengeluarkan suara
pantai, gunung, sabana.

Sementara,
aku, kau, sibuk dengan gumaman kita sendiri.

Euforia,
riang mencermati kalimatmu,
bahkan sedari pertama,
tentang aku, engkau, mereka, atau orang-orang yang bergumam,
mengeluarkan suara seperti pantai, gunung, sabana.

Hening,
aku telah lupa perjumpaan kita,
padahal baru saja,
dan aku bereuforia.

Ah, aku (hanya) ingat satu kalimat (tanya) mu:
"HERAN, KENAPA BANYAK ORANG-ORANG SAKIT?"

Senin, Oktober 06, 2008

TANGISAN

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis.

Suara itu kembali terngiang. Suara tangisan. Tangisan bayi. Bayi sialan itu.

Aku ingat malam itu. Malam yang liar. Setidaknya untukmu. Saat kau menari berahi. Menggoyangkan tubuhmu yang mungil di atas tubuhku. Erang, gelinjang. Getar, kapar.

”Aku ingin bersamamu,” katamu.

”Tidak,” kataku. ”Kau kekasih sahabatku”

Kau menangis. Aku menyuruhmu diam. Lalu kau membalikkan badanmu. Tidak lagi menghadapku. Dan kau diam. Walau aku tahu kau masih menangis, tubuhmu bergetar.

Aku hanya diam. Kau telah diam. Aku benci tangisan.

Aku tidak mengenalmu. Aku hanya mengenal kekasihmu. Yang angkuh, karena ketampanannya. Ketampanan yang membuat banyak perempuan menekukkan lutut. Ketampanan yang mulai ia salah pergunakan ketika perempuan yang ia cintai meninggalkannya karena lelaki lain. Lelaki pilihan ibunya. Ketampanan yang membuat ia percaya dapat menjadikan semua perempuan sebagai boneka. Dan kau salah satunya. Bonekanya.

Aku tak peduli dengan sifatnya. Dia sahabatku. Hingga saat itu. Saat ia menghancurkan kepercayaan yang aku berikan kepadanya. Kepercayaan yang aku berikan sejak lama, kepada semua kawan, semua sahabat. Ia merebut perempuanku. Kekasihku. Yang aku cinta, aku jaga.

”Aku berciuman dengannya,” kata perempuan itu, kekasihku. Mengakui dosanya.

Aku terdiam.

”Hanya sekali, dan aku menyesal, aku mencintaimu,” katanya lagi.

Aku menatapnya. Melihat kesungguhan di matanya saat ia bilang ia mencintaiku. Aku masih terdiam.

”Dia sahabatku, kau kekasihku”. Aku mulai bicara.

”Aku sayang kau, juga dia,” kataku. Aku kembali diam.

Saat itu, perempuan itu bukan lagi kekasihku. Dan kekasihmu, bukan lagi sahabatku.

Perempuan itu menangis. Aku melangkah pergi. Aku benci tangisan.


Aku mengenalmu suatu ketika. Saat perempuan itu, yang dulu kekasihku, melangsungkan pernikahannya. Ia menikah dengan lelaki yang tidak ia cinta. Atau mungkin ia mencintainya, entah. Aku hanya tahu mereka dijodohkan.

Kau datang dengannya, pria itu, yang dulu sahabatku. Kau tampak mesra dengannya. Menggandeng tangannya. Menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Kau mencintainya.

Tapi aku juga lihat kebencian. Di sudut lain matamu. Sinar yang lain, saat kau menatap matanya. Kebencian entah apa. Saat itu, aku tahu, aku bisa membalaskan dendam. Dendam yang dua tahun ini aku pendam.

Aku hampiri kalian. Menjabat tangan kekasihmu. Memeluknya, layaknya seorang sahabat. Ia senang melihatku lagi, setelah sekian lama. Aku dan lelaki itu pun hanyut dalam cerita, tentang ini dan itu.

Dan akhirnya, saat yang aku tunggu tiba. Kesempatan yang aku tunggu sejak tadi. Ia kenalkan aku padamu. Kita bersalaman. Aku menatapmu dalam. Kau menatapku malu. Dan kebencian di matamu semakin terlihat. Semakin jelas aku merasakannya. Dan aku semakin tahu, aku bisa mendapatkanmu. Membalaskan dendam yang kupendam. Pada lelaki itu. Pada kekasihmu, sahabatku. Dendam yang bisa kulampiaskan, dengan menjadikan engkau sebagai tumbal.

Dan sungguh, ia tidak tahu aku mendendam. Ia hanya tahu bahwa aku telah berpisah dengan perempuan itu, yang dulu kekasihku. Tanpa tahu kenapa.

”Aku dan dia tidak cocok,” jawabku suatu saat. Ketika lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, bertanya alasan aku dan perempuan itu, yang kini ada di pelaminan, berpisah.

Aku juga berpisah dengan lelaki itu, kekasihmu. Sahabatku. Juga dengan orang-orang di kehidupanku dahulu. Aku memutuskan untuk berkelana. Tak lama setelah pengakuan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku cairkan semua tabungan yang aku punya, dan mulai menjelajah. Dari satu tempat ke tempat lain. Menemui orang-orang yang belum pernah aku kenal, dan menjadikan mereka awal dari sebuah kehidupan yang benar-benar baru.

”Aku ingin menenangkan diri,” kataku pada lelaki itu, kekasihmu, saat ia tanya alasanku pergi.

Dan setelah dua tahun. Sekarang. Aku memutuskan untuk pulang. Setelah mendengar kabar itu. Kabar pernikahannya. Pernikahan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku masih mencintainya, walau tidak pernah mau memberikan dia pengampunan. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali. Melihat ia pergi. Selamanya..

Di pelaminan, perempuan itu, yang dulu kekasihku, menangis. Ia terisak, menciumi tangan kedua orangtuanya. Dan orangtua lelaki itu, yang kini suaminya. Meminta restu agar bahagia di kehidupan yang akan datang.

Aku muak. Aku pergi. Aku benci tangisan.

Dan kini, kau telah kudapatkan. Kau telah jatuh ke dalam pelukanku. Telah hanyut dalam ciuman dan cumbuku. Seperti yang telah kuperkirakan, mudah bagiku mendapatkanmu.

Aku hanya mendekati engkau, mencoba mengenal kau lebih dalam, mendengarkan cerita dan keluh kesahmu, sembari mencari titik lemahmu. Suatu saat, akhirnya kau membuka diri.

”Aku beberapa kali dihianatinya,” katamu. Menjelaskan kebencian yang pernah aku lihat. Di matamu. Dulu. Di pernikahan itu.

”Beberapa kali aku memergoki dia meniduri perempuan lain,” katamu lagi.

Tapi kau mencintainya. Sungguh mencintainya. Dia lelaki pertama yang menyentuhmu. Merenggut kesucianmu. Dan seperti perempuan lain. Perempuan-perempuan bodoh yang menganggap keperawanan sebuah kemuliaan. Kau menghamba padanya. Seperti manusia yang menghamba Tuhan. Dan lelaki itu, sahabatku, juga mencintaimu. Seperti kau mencintainya. Walau kenyataannya, kau hanya ia jadikan boneka.

Kau menangis. Sedang aku benci tangisan. Tapi ini tangisan yang aku tunggu. Setelah aku menenangkanmu, aku menidurimu. Aku membalaskan dendam.

Setelah malam itu, malam percintaan kita yang terakhir. Malam saat kau katakan kau ingin bersamaku, aku memutuskan hubungan denganmu. Aku katakan padamu untuk melupakanku, dan kembali ke pangkuan lelaki itu. Kekasihmu, bekas sahabatku, yang tak pernah tahu bahwa aku telah menidurimu. Aku sengaja membiarkan kau kembali menghamba. Di malam terakhir kita bercinta, kau katakan padaku. Bahwa kau akan menikah dengannya. Aku menyeringai dalam hati. Beberapa malam sebelum kalian menikah, aku akan memberitahu lelaki itu, kekasihmu, tentang dosa yang kita perbuat di belakangnya.

Aku ingin melihatnya menangis. Seperti tangisanmu, tangisan kekasihku dulu, atau tangisan perempuan-perempuan lain yang ia jadikan boneka. Setelah melihatnya menangis, aku akan pergi, kembali mengembara. Aku benci tangisan.


Tapi nasib tidak memihakku. Satu bulan setelah percintaan itu, kau menghadapku. Dengan tangis.

”Aku hamil,” katamu.

”Ini anakmu, aku tidak pernah bercinta dengannya setelah percintaan kita yang terakhir,” katamu lagi.

Aku terdiam.

”Nikahi aku,” kau kembali berujar.

”Aku akan meninggalkannya,” ujarmu lagi.

Aku masih terdiam.

”Tidak,” aku berkata, tidak lagi diam.

”Aku tidak mau menikahimu, aku tidak mencintaimu,” tegasku.

”Lahirkan anak itu, aku akan bertanggungjawab terhadap penghidupan dan kehidupannya kelak,” kataku lagi.

”Tapi aku tidak mau menikahimu. Tidak bisa,” kataku.

Aku kembali terdiam (sejenak).

”Atau gugurkan,” aku kembali bicara.

”Hanya itu pilihannya,” kataku, ragu.

Kau terdiam (sejenak). Dan mulai menangis. Aku menyuruhmu diam. Kau terdiam (lagi). Aku benci tangisan. Sungguh aku benci.


Akhirnya engkau memutuskan pilihan. Pilihan kedua yang aku tawarkan, bukan yang pertama. Kau gugurkan anak itu, anakmu, anakku. Kau tidak sanggup melahirkannya tanpa aku nikahi. Kau terlalu takut dengan gunjingan yang akan kau terima. Dan kau, terlalu takut ditinggalkan oleh lelaki itu, kekasihmu, calon suamimu, sahabatku.
Aku yang mengantarkanmu. Mengantar kau ke seorang dukun tua di sebuah entah. Mengantarmu menggugurkan kandunganmu, anakku.

Aku meringis melihat prosesi itu. Melihat dukun tua itu memasukkan benda asing ke kemaluanmu. Melihatmu meringis menahan erang. Melihat kau berdarah-darah. Dan aku, lagi-lagi, hanya terdiam.

Kau tidak menangis. Kau diam. Kau telah mengerti, aku benci tangisan.


Dua bulan setelah kejadian itu. Kau kembali menjalankan kehidupanmu yang biasa. Kembali mesra dengannya. Kembali menggandeng tangannya. Kembali menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Tapi kau tak lagi mencintainya. Kau bahagia, kau akan menikah sebentar lagi.

Tapi tiba-tiba kau mendadak gila.

”Aku sering mendengarkan tangisan,” katamu padaku, suatu ketika.

”Bayi itu, bayi kita, menghantuiku,” katamu.

Aku tahu, bayi itu tidak menghantuimu. Penyesalan yang menghantuimu. Penyesalan yang selama ini kau pendam di bawah sadar. Penyesalan yang sengaja kau lupakan.

Kau menangis lagi. Aku terdiam. Aku mulai menangis dalam hati. Tapi sungguh, aku benci tangisan.


Tanah kuburan itu masih basah. Kuburanmu, perempuan yang kujadikan tumbal atas kepercayaanku akan ”ada”. Tumbal atas dendam entah apa. Kau menyerah. Setelah lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, meninggalkanmu. Ia membatalkan pernikahan karena kegilaanmu. Ia tidak lagi mencintaimu. Ia beralih ke perempuan lain. Boneka lain. Kau tenggak pil penenang. Hingga seberkas sinar menjemputmu. Kau meregang nyawa.

Aku terdiam. Melihat tanahmu yang masih basah. Selintas, aku lihat lelaki itu, yang dulu kekasihmu, yang dulu sahabatku. Melihatnya menangis. Tapi tidak menangisi kekalahan. Seperti yang dulu aku rencanakan. Dan aku, tak jadi menertawai tangisannya. Tangisan yang benar-benar aku tunggu, setelah tangisanmu malam itu. Malam terakhir kita bercumbu. Dia, lelaki itu, menangisi kematianmu. Aku terdiam.

Tangisan itu kini menghantuiku. Tangisanmu, dan tangisan bayi itu, anakku. Aku terkena karma. Karma yang kau dan bayi itu kutukkan kepadaku. Karma yang menjelma tangis. Sungguh, aku benci tangisan.

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis. Tapi suara itu tak lagi terngiang. Suara tangisan itu. Tangisan bayi itu. Bayi sialan itu. Aku meregang nyawa.

Lampung, 30 September 2008.

Selasa, September 02, 2008

Hardikan

Apa yang salah?
Dengan harap
Tentang kita
Yang duduk menunggu benam bola api di langit barat

Apa yang salah?
Dengan rindu
Tentang kau
Dan komentarmu tentang sore yang merah

Apa yang salah?

Sudah Sore

Aku kenal tampakanmu
Pernah kusaksikan kau menari di sore yang ganjil
Tanganmu menggapai2 ke langit
Entah apa..

Sering kulihat kau kala malam
Di sebuah panggung bambu
Yang bermandi sinar merah samar
Kau tenggak nikmat segelas cairan coklat
Memasukkan abu rokokmu
Ke asbak yang juga bambu

Kau bercanda
Dengan kematian yang mawujud
Membelainya manja, mesra
Sesekali kau dibelainya

Sesaat aku paham
Dia kekasihmu
Kau kekasihnya..

Sebagaimana Lelaki itu

Pagi ini kutemukan kau
Dalam sebuah foto usang
Di dompet lelaki itu
Di antara kartu nama dan lembaran uang

Aku mencintai kau
Sebagaimana lelaki itu
Yang kerap memandangimu sembari meracau
Atau mengelusmu sambil mengutuki waktu

Aku mencintai kau
Kau hitam di tengah biru
Senyum di tengah peluk

Sebagaimana lelaki itu

Pelukan

Di TV, kotak ajaib itu.
Aku lihat sebuah pelukan.
Aku muak, sekaligus rindu.
Rindu akan peluk.

FEROMON YANG BERCAMPUR PELUH..

Rabu, Agustus 13, 2008

Negatif itu positif

Dua hari kemarin kau datang
padaku setelah sekian lama

Kau bicara banyak tentang perubahan
Aku bertanya satu hal: "Perubahan APA?"
Kau tak menjawab..

Kau kenakan banyak tanda di tubuhmu
"Simbol perlawanan", katamu.
Aku kembali bertanya: "SIAPA yang kau lawan?"
Kau diam..

Lalu pergi..

Kemarin kau datang lagi

Kali ini kau katakan padaku
"Kita harus segera bergerak, saatnya revolusi", katamu
Aku bertanya: "BAGAIMANA?", ujarku.
Kau tertunduk



Kawan, aku lelah.
Tak tega bertanya KAPAN dan DI MANA...


Sudahlah.. Tak perlu terlena dengan idealita

Duduklah

Kubuatkan segelas kopi

dan reguklah pelan2 nyatanya..

Sabtu, Juli 12, 2008

SENANG MEMILIKIMU, PHOENIX

Cerita Tentang Pengalaman Saya Bersepeda.

Oleh: Arie Oktara

11 JULI 2008. Sudah tiga hari ini saya bersepeda. Alasannya sederhana, saya butuh kendaraan untuk transportasi. Ban sepeda motor saya, Shogun hijau tahun 1999 (saya menamainya Menur) bocor. Entah kenapa, saya benar-benar malas untuk menambalnya. Sudah dua kali bocor, jadi saya pikir memang sudah saatnya ganti.

Tiga hari kemarin, saya main ke Asrama Mahasiswa Lampung, di Jalan Pakuningratan Nomor 7 Yogyakarta. Waktu hari mulai sore, telepon genggam saya berbunyi. Rupanya ada sms dari Dita, salah seorang kawan, cukup akrab. Kami membuka warung kopi bersama-sama, dengan tiga kawan lain, Sodik, Weli, dan Sendi. Rupanya Dita sedang sakit, dan mengusulkan untuk meliburkan warung kopi sehari saja.

Saya bingung, malam ini ada beberapa kawan yang berjanji datang ke warung. Tapi karena Weli dan Sodik belum ada di Yogyakarta, masih di Lampung (Ayah Weli sedang sakit, dan kerabat Sodik melangsungkan pernikahan), dan agak berat kalau cuma kerja berdua, akhirnya saya setujui usul Dita. Lagipula agak cape hari itu.

Saya bergegas ke kamar Sendi. Kamar kedua di sebelah Utara, lantai satu Asrama. Pintunya tertutup. Walau tidak dikunci, pintu kamarnya tidak bisa dibuka dari luar. Kuncinya rusak, jadi harus dibuka dengan anak kunci, atau dibuka dari dalam. Saya ketuk berkali-kali, tapi tidak juga ada jawaban. Pintu kamar tidak juga terbuka. Sendi kalau sedang tidur, gempa bumi pun susah membangunkan. Cara terakhir, lewat jendela depan. Setelah badannya saya goyang-goyangkan dari jendela, akhirnya Sendi bangun.

“Sen, Dita sakit. Warung libur aja?” Tanya saya sambil memperlihatkan telepon genggam.

Dia membaca sms sebentar.

“Hooh,” jawab Sendi sambil memutar badan membelakangi saya dan langsung tidur lagi. Luar biasa memang prestasi Sendi kalau urusan tidur.

Sesaat kemudian saya bingung lagi, malam ini tidak ada rencana kemana-mana. Akhirnya saya sms beberapa orang kawan. Perempuan tentu saja. Saya ajak mereka keluar. Ternyata semuanya ada acara. Harapan saya memanfaatkan waktu libur keluar dengan cewekpun gagal. Pilihan terakhir hanya satu tempat: kos Didik. Sudah lama juga tidak kesana.

“Kesana ah,” pikir saya .

Tapi kebingungan datang lagi. Naik apa? Saya ingat, Sepertinya ada sepeda tidak terpakai di Garasi asrama. Ternyata benar. Di sana saya lihat ada empat sepeda yang tidak terpakai. Terbengkalai, kotor bahkan. Dua sepeda balap (hijau dan merah), satu sepeda onthel, dan sepeda federal biasa.

Sepeda balap merah kepunyaan Asrowi, yang hijau kepunyaan Novan. Asrowi mudik ke Lampung, ada acara keluarga. Novan ke Pare, kursus bahasa Inggris, memanfaatkan libur kuliah. Sepeda milik Asrowi kondisinya lumayan, cuma ban depan agak gundul. Sepeda balap kepunyaan Novan kondisinya lebih baik dari kepunyaan Asrowi. Penampilannya masih terlihat sangar. Tapi waktu saya coba menaikinya, ternyata rantainya bermasalah. Tidak bisa berputar, rusak. Sepeda onthel milik Erwin (dia biasa dipanggil Jabrik) kondisinya parah. Stangnya sudah tidak simetris, joknya sudah goyang, di sana- sini karat, pokoknya perlu perjuangan keras untuk bisa mengendarainya dengan baik. Sepeda federal, saya tidak tahu siapa yang punya. Akhirnya,saya memutuskan untuk memakai sepeda Asrowi untuk ke kosan Didik.

KOSAN Didik di Jalan Kaliurang Km 4,5. Di depan Bank Bukopin Jalan Kaliurang ada swalayan Gading Mas. Tepat di samping selatan Gading Mas ada jalan masuk. Itu jalan ke kosan Didik. Lurus saja sampai ketemu turunan. Di awal turunan ada Fotokopi di sebelah selatan. Belok kanan di depannya, lalu belok kiri, sampai kosannya. Nomor G 5. Agak jauh dari asrama. Kalau dihitung-hitung sekitar 7 kilometer. Saya bersepeda kesana.

Sepeda Asrowi ternyata masih enak dipakai. Di jalan menuju kos Didik, saya beberapa kali berdiri dan mengayuh sepeda seperti berlari, agar lajunya kencang. Euforia barang baru. Haha.

Dan ternyata, naik sepeda itu menyenangkan. Apalagi kalau sembari mendengar musik. Waktu seperti berhenti. Gerak benda di sekitar kita seperti lebih lambat. Dan kita, dengan sepeda, seperti melaju lebih cepat. Berlebih memang deskripsinya, tapi itu yang saya rasakan.

Yang bikin susah saat bersepeda, tentu saja asap kendaraan. Wah, jengkel rasanya kalau sedang di belakang bis kota. Kadang kaget asap tiba-tiba mengepul tanpa aba-aba. Paru-paru langsung sesak karena terlalu banyak menghirup karbon dari asap bis yang hitam. Indonesia memang tidak bersahabat dengan alam. Setahu saya tidak ada peraturan yang mencantumkan berapa tahun maksimal kendaraan masih bisa dipakai di jalan raya. Hasilnya, mobil-mobil dan motor-motor tua yang seharusnya sudah pensiun masih merajalela di jalanan. Dan tentu saja, tidak lagi bersahabat dengan alam. Sumber polusi.

Dari asrama Lampung ke kosan Didik di Jalan Kaliurang, suasana yang paling asik saya rasa ketika melewati jembatan di Jetis. Kalau naik sepeda, tidak seperti mobil dan motor, kita bisa agak merapat ke pinggir jalan. Bahkan naik ke atas trotoar. Dari atas jembatan, pemandangan ke arah sungai benar-benar membuat hati saya damai. Walaupun air sungainya berwarna coklat. Tapi tetap saja, damai.

Di jalan, saya menyadari satu keadaan. Keangkuhan. Ternyata benar kalau kita memiliki lebih banyak dari orang lain, gigantisme, perasaan angkuh dan merasa lebih, merasuk. Beberapa mobil dan motor berkali-kali membunyikan klakson hanya karena saya terlalu lambat mengayuh sepeda. Padahal, saya sudah meminggirkan sepeda saya.

Awalnya, satu-dua kendaraan masih saya acuhkan. Tapi lama-lama kesal juga. Akhirnya ketika kendaraan ketiga, mobil Jazz plat B berwarna merah membunyikan klakson berulang-ulang dari belakang. Saya langsung merapatkan jari-jari ke arah dalam, menyisakan jari tengah, dan menunjukkannya ke arah mobil sambil berteriak: “ASU!!”

Tidak sesuai dengan perkiraan saya, suara klakson tidak berhenti, malah makin menjadi. Saya ngeri saja, tiba-tiba di tabrak dari belakang. Untung saja di depan ada jalan masuk ke arah Fakultas Farmasi UGM, saya langsung berbelok dan berhenti sebentar. Memandangi mobil Jazz merah. Pengemudinya (ternyata perempuan muda) menengok ke arah saya sambil menunjukkan juga jari tengahnya. Dasar, tak mau kalah.

Keadaan aman. Perjalanan kembali saya lanjutkan. Setelah sepuluh menit kembali mengayuh sepeda, saya sampai di kosan Didik.

Di kamarnya, Didik sedang mengutak atik gambar di Laptop. Dia sedang mendesain sesuatu. Didik memang tidak bisa dilepaskan dari komputer, dia seorang hacker.

Dulu dia sempat nakal. Kenakalan pertamanya waktu kelas 5 Sekolah Dasar. Orangtuanya pernah dipusingkan karena Didik berurusan dengan polisi. Dia “iseng” masuk ke sistem komputer PLN Bandar Lampung dan mengacak programnya. Hasilnya, aliran listrik di Bandar Lampung terputus selama seminggu. Masalahnya ternyata sepele. Aliran listrik di rumah Leonardo kawannya ketika kecil diputus. Didik kesal dan balas dendam ke PLN. Didik Kini Didik sudah tobat. Dia bekerja di Pantau sebagai web master.

“Halah, masih inget lu jalan kesini?” kata Didik. Saya cuma tersenyum.

“Wuih, banyak duit lu sepeda baru,” katanya. “Ga, sepeda temen,” jawab saya.

Saya masuk dan ngobrol ngalor ngidul dengan Didik. Ada Ian juga disitu, juga kawan saya.

Waktu semakin malam, segelas kopi dan berbatang-batang rokok sudah habis. Jam sepuluh malam saya pamit.

“Ngopi ga? Tika minta dianter ke kopi joss,” tanya saya. Waktu di jalan menuju kos Didik, Tika, kontributor tvOne dari Palopo Sulawesi Selatan, teman yang saya kenal di kursus narasi Pantau yang saya ikuti mengirim sms. Dia minta di antar ke angkringan Lik Man yang terkenal dengan kopi yang di campur dengan arang, di Utara Stasiun Tugu. Saya menyanggupi.

“Ga boy, ngantuk gua” katanya. Saya pun pergi. Ke kosan Tika, di daerah Seturan.

Saya ke Seturan lewat Selokan Mataram. Jalannya banyak yang rusak. Lumayan berat buat saya yang baru mulai bersepeda. Terlebih sepeda balap yang saya pinjam ban depannya sudah gundul. Saya beberapa kali berhenti, menunggu mobil atau motor lewat. Selain rusak, beberapa sudut jalan gelap. Karena itu, saya mengandalkan cahaya dari kendaraan yang melaju di situ.

Dua puluh menit kemudian saya sampai. Dari kosan Tika, kami naik motor ke Code. Kami tidak jadi ke angkringan Lik Man. “Ke Code aja, udah lama ga ke sana,” kata saya pada Tika. Sepeda saya titipkan di sana.

Pulang dari Code, dari Seturan saya lewat jalan yang sama. Jalanan sudah sepi. Beberapa kali sepeda yang saya tumpangi masuk lubang. Untungnya tidak sampai jatuh. Sebelum melewati jembatan di Selokan Mataram, saya dikagetkan dengan salakan dua anjing. Mereka ditaruh pemiliknya di halaman rumah. Pagar rumahnya pendek. Anjing yang lebih besar, sepertinya berjenis herder terlihat seperti ingin melompati pagar. Binatang yang saya takuti ada dua, anjing galak dan tikus besar. Saya mempercepat laju sepeda.

Badan sudah letih, tidak kuat rasanya menggenjot sepeda ke Asrama Lampung. Saya ke kosan Didik dan menginap di sana.

DUA hari kemudian, saya menginap di Asrama Lampung. Setelah bangun dan merokok, sekitar jam dua siang hasrat bersepeda kembali bergejolak. Saya ke garasi mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar asrama, tanpa punya tujuan. Di Tugu, saya punya ide untuk ke Terminal Terban. Saya ingat seorang kawan pernah memberitahu di belakang terminal ada toko sepeda bekas. Saya pikir tidak ada salahnya lihat-lihat. Siapa tahu ada sepeda murah.

Di Terban, saya tidak melihat satupun toko sepeda. Seorang ibu sedang merokok dengan asiknya di pinggir tumpukan sampah. Saya bertanya padanya. “Bu, tempat jual sepeda di sini di mana ya?” Kata saya. “Ga ada mas, coba cari ke Utara,” timpal si Ibu. Setelah berterimakasih, saya mengarah ke Utara. Ternyata sampai di Mirota Kampus, tidak ada toko sepeda. Saya kecewa, tapi masih ingin mencari sepeda. Perjalanan saya lanjutkan.

UGM, Kolombo, Demangan, dan tak terasa, sudah sampai depan Universitas Islam Negeri (UIN) di Jalan Solo. Tempat jual sepeda tidak juga saya lihat.

Sepeda terus saya kayuh. Setelah melewati jembatan di depan UIN, sekitar dua ratus meter di sebelah utara dari kejauhan saya lihat ada banyak sepeda anak kecil yang digantung. Akhirnya, ketemu juga.

Sepeda balap saya parkir. Dengan langkah pasti saya masuki toko sepeda. Dua orang lelaki sedang menyetel sepeda. Di dalam, banyak sepeda bagus. Tapi perhatian saya langsung mengarah ke tiga sepeda gunung yang disusun sejajar menghadap selatan. Sepeda gunung dengan stang tambahan yang menyerupai tanduk. Sangar, itu kesan pertama saya ketika melihat ketiganya.

Setelah sejenak melihat-lihat, saya hampiri seorang bapak tua. Rambutnya sudah memutih. Dari wajahnya, dia keturunan Tionghoa. Si bapak duduk di bangku menghadap meja dengan kertas kuitansi yang bertumpuk di atasnya. Sedang sibuk memencet-mencet tombol kalkulator.

“Yang itu berapa pak?” Tanya saya sambil menunjuk ke tiga sepeda gunung.

“Sing loro wolu ngatus. Sijine pitu ngatus,” jawabnya.

“Mahal amat,” kata saya lagi.

“Memang segitu mas,” katanya acuh.

“Wah, ga bawa duit segitu e pak,” kata saya sambil mengeluarkan uang yang ada di kantong depan celana. “Tuh,” saya tunjukkan dua lembar uang seratus ribu dan dua lembar uang lima puluh ribu.

“Yo, De Pe wae ra popo. Sisuk lunasi,” timpal bapak itu.

Saya berpikir agak lama. Saya ingat kalau tidak salah uang di kamar masih ada sekitar empat ratus ribu rupiah.

“Enam wis sing pitu ngatus,” kata saya. Bapak itu tersenyum.

“Ra iso e mas, saiki munggah kabeh. Kui barang terakhir,” katanya sambil menunjuk sepeda yang dihargainya tujuh ratus ribu rupiah.

Saya terus saja menawar. Tak terasa sudah hampir satu jam. Akhirnya setelah agak lama itu bapak itu menyerah. “Yo wis, enam atus selawe,” katanya. Saya setuju. Saya berikan uang tiga ratus ribu sebagai tanda jadi. Saya pulang bersepeda. Senang, akhirnya bakal punya sepeda baru. Tapi bingung, uang yang saya pakai untuk beli sepeda adalah jatah saya bulan ini. Sepertinya hari-hari kedepan pasti susah makan.

BESOKNYA, tanggal 11 Juli 2008. Saya bangun dengan segar. Walaupun tidak salat Jumat saya senang, hari ini saya mengambil sepeda.

Saya segera mencari Bang Iwan. Dia saudara jauh saya, tinggal di Asrama Lampung. Kemarin sepulang dari toko sepeda, saya cerita kepadanya kalau baru saja membeli sepeda baru dengan uang jajan.

“Hahaha, goblok,” katanya.

“Iya. Tapi biarin aja, udah terlanjut gua beli. Lu besok anterin gua ambil sepeda ya,” pinta saya.

“Ga tahu nih, gua kebelet bener tadi pengen beli sepeda,” kata saya lagi.

“Iya, tapi liat kondisi geh. Lu dari dulu begitu, kalo ada mau ga bisa entar-entar,” jawabnya.

“Udah, anterin aja,” kata saya. Dia tersenyum.

“Iya,” katanya.

Saya dan dia akhirnya berangkat ke Jalan Solo.

Uang tiga ratus dua puluh lima ribu saya berikan untuk melunasi sepeda itu. Sepeda gunung warna merah hitam, merk Phoenix. Seperti nama burung yang dalam mitos punya ekor dari api. Gearnya ada enam, dan ada persnellingnya. Mantap berkendara di atasnya. Dan yang paling saya banggakan selama dua hari sepeda itu menjadi milik saya, adalah benda bulat yang menempel di sebelah kiri ban depan.

“Ada cakramnya,” kata saya ke setiap kawan yang melihat sepeda baru saya.

Ada kawan yang menjawab begini: “Bagus sih sepedanya. Tapi lu ga bisa makan goblok.”

Saya cuma menjawabnya tenang: “Ya bisalah, kan bisa keliling kosan temen pake sepeda.”

Sepeda baru, semangat baru. Tapi ada satu hal yang mengganggu. Bagaimana nasib si Menur ke depan. Jelek-jelek begitu, dia sudah menemani saya sejak lama.

Tadi malam, selagi asik mengetik di warung. Bemi kawan yang tinggal satu tempat dengan saya, Asrama Lampung Selatan di Bangirejo mengirim sms ke telepon genggam saya.

“Bang, motor masih mau lo pake? Kalo gua bayarin ban depan lo gimana? Kan lo dah punya sepeda,” katanya.

Sedikit kesal saya jawab: “Gua masih punya duit”

Udara pagi makin dingin. Tak terasa sudah jam tiga. Setelah benah-benah warung, saya bergegas menghampiri si Phoenix. Melihatnya sebentar, dan kembali berkendara.

Sabtu, Juli 05, 2008

Sendi Dan Gitar Suzuki

Profil seorang sahabat, tentang mimpi dan dinamika hidupnya

Oleh: Arie Oktara

SENDI belum juga masuk Taman Kanak-kanak (TK). Tapi ia sudah tahu bahwa kesenian adalah hidupnya. Ia senang menggambar. Berpuluh-puluh buku gambar dan pensil warna ia habiskan untuk kesenangannya itu. Tahun 1989, ketika itu ia berumur 5 tahun. Ayahnya mengantarkannya ke TK Aisyah Bushtanul Athfal Bandar Lampung. Di sini, kegemarannya menggambar makin menguat. Dan ternyata ia berbakat. Ia kerap mewakili TK nya ketika ada lomba menggambar. Kelas 3 Sekolah Dasar, ia mulai melukis memakai kuas.

Sendi menghabiskan masa kecilnya di Kaliawi, tepatnya di Jalan Haji Agus Salim Gang Haji M Ali No 43 Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung. Sebuah perkampungan orang-orang Serang di Lampung. Mayoritas warga kampung ini miskin. Karenanya, lingkungannya keras. Karakteristik kampung ini berpengaruh ke dirinya. Selain senang menggambar, sendi kecil juga senang berjudi.

”Dari sebelum sekolah, gua udah kenal maen koprok,” ujarnya santai sambil tertawa.

Selain itu, Sendi kecil juga senang berkelahi.

”Biasalah, lu pasti udah pernah ngeliat anak-anak di lingkungan orang Serang. Gua juga begitu. Ngejer layangan terus berantem sampe pala’ bocor gara-gara satu layangan,” ujarnya.

”Sedikit nakallah,” sambungnya sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek Sampoerna Hijau yang tinggal setengah. ”Namanya juga anak kecil,” sambungnya lagi.

Namun siapa sangka, kenakalannya ketika kecil ternyata justru membuatnya menemukan bakatnya yang lain, musik. Sendi ingat, waktu itu ia hampir naik kelas 6 Sekolah Dasar dan mulai senang nongkrong dengan pemuda-pemuda kampung.

”Gua seneng liat dia orang[1] maen gitar,” katanya.

”Awalnya cuma ikut nyanyi-nyanyi doang. Tapi entah kenapa akhirnya pengen belajar,” lanjut Sendi.

Sendi pun meminta orangtuanya untuk membelikan gitar. Orangtuanya tidak mengabulkan, ia dimarahi. Sendi sedih, tapi tekadnya untuk belajar gitar sudah bulat. Sendi pun memberanikan diri untuk meminjam gitar pada pemuda-pemuda kampung. Namun ia diremehkan.

”Udah sih sana anak kecil,” ujar pemuda-pemuda kampung.

Sendi tak goyah. Ia tetap bersikeras meminjam gitar dan diajarkan bermain gitar sampai akhirnya mereka menuruti kemauannya. Sendi senang, gitar ia bawa pulang dan mulai belajar. Frekuensi nongkrongnya mulai ia tingkatkan. Perlahan ia mulai bisa bermain gitar.

”Pertama kali gua bisa maen gitar itu lagu Isabella,” kenangnya sambil tersenyum geli.

Ia tidak ingat siapa yang menyanyikan lagu itu. Ia hanya ingat rambut gondrong penyanyinya.

”Pokoknya waktu itu lagi jamannya lagu-lagu Malaysia,” ia menambahkan. Senyumnya makin lebar.

Gitar mulai menjadi teman baru Sendi. Buku gambar, pensil warna, serta kuas ia tinggalkan. Karena hobinya yang baru itu, nongkrong sambil bermain gitar dengan pemuda-pemuda di kampungnya, Sendi melupakan rutinitas lamanya: mengejar layangan, meski tetap suka berkelahi. Karena hobinya itu pula, Sendi sampai tak punya waktu lagi untuk berjudi. Anak kecil itu sudah punya prioritas. Nongkrong, bermain gitar, dan sesekali menghisap rokok. ”Bujang-bujang itu biasanya nongkrongnya malem,” kata Sendi.

TAHUN 1999. Ini tahun ketiga Sendi bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung. Sebentar lagi ia akan menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Ia gelisah, hatinya tidak tenang. Rupanya, bukan karena ujian akhir sekolah. Tapi karena ia belum juga memunyai gitar. Dia ingin sekali memiliki gitar, kepunyaannya sendiri. Sudah 3 tahun ia bisa bermain gitar, tapi masih pinjam sana-sini. Ini benar-benar mengganggu dirinya. Dan ia benar-benar meyakinkan diri bahwa tak ada obat lain untuk menenangkan pikirannya. Hanya gitar. Tidak perlu baru, pikirnya. Ia pun memulai pencarian. Sampai akhirnya sebuah gitar bermerk Suzuki menarik perhatiannya.

Sendi menghadap orangtuanya dan menyatakan keinginannya untuk membeli gitar itu. Sendi lupa, profesi ayah dan emaknya adalah guru Sekolah Dasar. Sedangkan EBTANAS semakin dekat. Mereka cemas, musik lebih Sendi pentingkan dari pendidikan. Seperti permintaan pertamanya, permintaan keduanya pun tidak dikabulkan.

”Sudah, nanti dulu. EBTANASnya lewatin dulu,” kata orang tua Sendi.

”Ga bisa, nanti ini laku. Diambil orang,” ujar Sendi mengulang adegan pertengkaran dengan orangtuanya.

”Pokoknya sampe ngambek-ngambekanlah. Gua sampe hampir ga negor orang tua gara-gara gitar itu,” ujarnya pelan.

Akhirnya orangtuanya mengalah. Uang untuk membeli gitar terpaksa diberikan. Ada dua alasan menurut Sendi. Yang pertama karena melihat keinginannya yang sangat besar untuk memiliki gitar. ”Gua dulu pas minjem gitar itu, gua sampe tidur dengan gitar. Gua kelonin tidur berhari-hari,” ujar Sendi sambil melingkarkan kedua tangannya dan memiringkan kepalanya ke arah kiri. Yang kedua: EBTANAS tinggal tunggu tanggal.

Namun bagaimanapun, Sendi menang. Setelah lama menunggu, penantiannya berakhir sudah. Gitar akustik Suzuki impiannya, yang tipenya tidak ia ingat lagi sudah ada dalam genggaman.

”Gitar itu gua beli second. Harganya 25 ribu. Stangnya udah patah. Stangnya udah banyak pakunya pokoknya,” Sendi bercerita dengan semangat.

Sampai sekarang, gitar itu masih dia simpan dengan baik di rumahnya di Lampung. Beberapa orang sepupunya sempat ingin mengambil gitar itu karena sayang melihatnya tidak terpakai. Tapi sendi tidak membolehkan.

”Mending[2] gua kasihin gitar gua yang sekarang daripada gitar itu,” ujarnya serius.

”Sejarahnya yang gua ambil,” kata Sendi kemudian, pelan.

Setelah memiliki gitar sendiri, Sendi makin giat berlatih. Niatnya makin kuat untuk menjadi seorang musisi handal.

TAHUN 2002. Sendi hijrah ke Yogyakarta. Meninggalkan Lampung dan gitar Suzukinya. Anehnya, bukan untuk bermusik, melainkan menuntut ilmu di jurusan Teknik Elektro AKPRIND Yogyakarta. Menuruti kemauan orangtuanya. Orangtuanya senang, sendi bukan lagi seorang calon musisi, ia calon insinyur.

Tahun 2006, aku kira ia hanya digoda ketika ia dipanggil ”junior” oleh Andri, kawannya.

”Woy mahasiswa baru!” teriak Andri memanggil Sendi.

Sendi hanya tersenyum. Malam itu ia mengenakan topi hitam berbordirkan gambar logo Institut Seni Indonesia. Wajahnya cerah. Ternyata ia diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Jurusan Etno- Musikologi.

17 Juni 2008. Malam itu Sendi tidak datang ke warung kopi Cangkir 70, warung kopi yang terletak di sebelah timur Komplek H Perumahan Angkatan Udara Republik Indonesia Janti, tempatnya bekerja. Ia libur. Ternyata ia di Alun-alun Selatan. Sedang ada pengajian Padang Bulan[3], pengajian dengan konsep menarik, saya dan beberapa kawan menyebutnya ”pengajian tanpa ngaji”. Menghubungkan diskusi, agama, dan musik yang diadakan oleh Emha Ainun Najib setiap tanggal 17 setiap bulannya. Sobaya, komunitas musik beranggotakan mahasiswa-mahasiswa ISI yang mengusung nasyid etnik, tempat ia sekarang getol berproses menjadi salah satu pendukung acara. Ia bermain biola malam ini. Alat musik yang mulai ia tekuni ketika akan mengikuti tes masuk ISI. Alat musik yang semakin hari makin membuat ia jatuh cinta. Walau begitu, gitar tetap ia mainkan.

21 Juni 2008. Pukul 20.00 saya sampai di warung kopi Cangkir 70. Warung masih sepi. Hanya dua pengunjung yang ada diwarung saat saya datang. Dua wanita yang asik berbincang diatas pondok bambu yang bermandikan sinar merah lampu. Sendi sudah di sana. Duduk di atas amben bambu di bagian selatan warung memakai kaus biru tanpa kerah bertuliskan ”SABURAI CUP 2007” dan celana hijau panjang bermotif loreng. Dia sedang menonton acara TV melalui layar putih 2x2 meter yang dipasang untuk nonton bareng EURO 2008, pertandingan sepakbola terbesar kedua sejagat. Setelah piala dunia tentu saja. Malam ini Belanda akan melawan Rusia.

Malam mulai merangkak, satu persatu pengunjung mulai memenuhi warung. Sejenak, ia sibuk melayani pesanan. Ketika ia sedang tidak melayani tamu, saya ajak dia mengobrol. Tentang proses bermusik yang telah ia jalani. Banyak hal yang ia ceritakan. Dan saya semakin mengenalnya. Paling tidak semakin yakin bahwa ia benar-benar memilih musik sebagai pilihan final untuk hidupnya. Ia kini tidak hanya memiliki gitar Suzuki. Ia sudah punya gitar akustik yang jauh lebih bagus dari gitar Suzuki, gitar elektrik, Sasando, Rebab, Suling Bali, Suling Lombok, Slompret Sunda, ,Saluang, Banzi, dan terakhir, alat musik yang paling dia sayang dan paling ingin ia kuasai: biola. Ia biasa memainkan biola itu dibelakang warung kopi ketika pengunjung sedang sepi. Kesemua alat musik itu ia kumpulkan dengan susah payah. Dari mengamen dan bayarannya ketika manggung.

Ia agak lama menjawab ketika aku tanya kepadanya: ”Sen, gimana kalau proses yang udah lu jalanin dimusik ternyata ga jadiin lu orang yang sukses menurut pengertian umum?”

Sesaat ia menjawab pelan: ”Resiko, itu udah pilihan. Minimal gua bisa makan. Kalau gua ga sukses dimusik, ya udah.”

”Tapi gua yakin, yang ‘di atas’ ngeliat proses gua”, katanya.

”Trus, gimana kuliah lu di teknik dan harapan orang tua lu?”

”Gua bakalan ambil jalan tengahnya” kata Sendi.

”Gua bakalan cari benang merah antara teknik yang gua ambil dengan seni yang gua ambil,” ujarnya lagi.

”Dan mungkin itu bisa jadi masterpiece gua”

Arie Oktara

[1] Mereka. Panggilan khas di Lampung.

[2] Lebih baik

[3] Bahasa jawa, artinya terang bulan.