Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Selasa, Juli 21, 2009

Suara Hati, Sayap Ibu


AKU tidak tahu kapan tepatnya. Kalau tidak salah sekitar akhir Mei atau awal Juni 2007. Waktu itu hari menjelang malam. Itulah kali pertama aku menjejakkan kaki di halaman muka Yayasan Sayap Ibu (YSI), di Jl. Rajawali 3, Pringwulung, Condongcatur, Depok, Sleman Yogyakarta. .

Halaman muka sepi, tidak ada siapa-siapa. Tapi kemudian aku dengar suara sayup-sayup dari arah dalam. Pelan kuarahkan langkah mengikuti jejak suara, ada 2 orang wanita dan beberapa orang bayi yang sedang sibuk sendiri di peraduannya. Ada yang tersenyum-senyum sendiri, tertawa sambil membolak-balik mainannya, atau bergumam, entah tentang apa.

Lalu kuberanikan diri mengucap salam

“Permisi” ujarku.

Seorang wanita kemudian menghampiriku. Aku sudah lupa siapa namanya. Yang pasti perawakannya kecil dan berkulit coklat muda, umurnya sekitar 27 tahun.

“Ya, ada apa mas?” tanyanya.

“Cuma mau tanya mbak, kalau mau nyumbangin sesuatu gimana ya?” tanyaku.

“Oh, tunggu mas saya ambilkan bukunya, mas duduk saja dulu,” jawabnya sembari bergegas masuk ke dalam, sementara aku menuju ruang duduk tamu.

Tak lama berselang, “si Mbak” datang sambil membawa sebuah buku.

“Mas dari mana?” tanyanya kemudian.

“Saya kuliah mbak, di Gadjah Mada” jawabku.

“Oh, ya sudah, mas tulis nama mas di sini,” ujarnya sembari menyodorkan buku tamu. Aku langsung menuliskan namaku di situ

“Mmm, aku nyumbangnya ga sekarang Mbak,” kataku setelah menuliskan nama.

“Mungkin minggu depan, dan itupun hanya sedikit makanan dan susu bayi,” ujarku lagi.

“Makanya aku datang sekarang cuma mau tanya, boleh atau tidak nyumbang seadanya,” kataku.

“Oh, tentu boleh Mas. Kami malah berterimakasih masih ada yang mau peduli,” jawabnya.

ITU dialog yang aku ingat antara aku dan “Si Mbak”, aku lupa siapa (maaf). Aku pertama bertandang ke YSI memang hanya untuk bertanya cara memasukkan sumbangan. Waktu itu, kebetulan mantan kekasihku (ehm..) sebentar lagi akan merayakan hari lahir. Aku ingin memberikan hadiah untuknya. Hadiah yang tidak hanya menyenangkan dia, tapi juga bisa membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum gembira. Aku sempat kebingungan, maklum uang yang aku punya tidak seberapa. Tapi kemudian aku punya ide untuk mengajaknya menyumbangkan makanan dan susu seadanya ke Panti Asuhan anak. Hadiah senyuman anak kecil untuknya tentu bisa membuat hari lahirnya lebih bermakna.

Akhirnya aku bertanya pada Mbak Sumi, dulu teman satu kos.

“Mbak, tahu panti asuhan atau yayasan yang fokusnya ngurusin anak kecil ga Mbak?” tanyaku.

“Untuk apa Rie?” ia menjawab dengan pertanyaan pula.

“Ada aja,” jawabku.

“Halah gayamu. Aku tahunya Sayap Ibu, semacam yayasan gitu. Ngurusin anak-anak kecil juga,” katanya kemudian.

“Ada dua tempat, tapi yang dekat di daerah Selokan Mataram. Dari Jembatan Merah daerah Gejayan, kamu masuk terus sampe ketemu perempatan. Trus kamu belok kiri. Nah, sebelum jembatan liat ada plang Yayasan Sayap Ibu di sebelah barat. Gedungnya di jalan masuk sebelah timur. Kamu coba kesana aja, anaknya lucu-lucu,” ujarnya lagi.

“Wah, ya udah tar aku coba ke sana. Makasih Mbak,” ujarku.

Akupun ke sana dan berbicara dengan salah satu pengasuhnya seperti kuceritakan di atas. Setelah berbincang dengan “Si Mbak”, akhirnya aku tahu bahwa Sayap Ibu menerima sumbangan walau alakadarnya.

Aku tersenyum gembira. Rencanaku memberikan hadiah hari lahir seadanya namun bermakna akan kesampaian. Setelah pamitan dengan “Si Mbak”, akupun melangkah keluar ruangan, bergegas. Hari itu aku ada janji dengan kawan.

Nah, saat itulah mataku tertuju pada lembaran pengumuman yang ditempelkan di pintu kedua dari luar.

“SUARA HATI”, teks yang pertama kubaca. Lalu akupun membaca secara mendetail. Ternyata tulisan itu adalah pengumuman tentang sebuah kegiatan pendampingan anak-anak kecil di YSI yang sedang membutuhkan relawan untuk ikut aktif di dalamnya.

“Wah, bagus nih”, pikirku dalam hati. Ada baiknya aku coba, lagipula aku sedang tidak banyak kegiatan waktu itu. Hanya mengurus salah organisasi perkumpulan mahasiswa Lampung dan menulis skripsi. Niat pulang kuurungkan, aku kembali lagi ke dalam.

“Mbak, maaf mengganggu lagi. Aku baca selembaran Suara Hati yang ditempel di depan. Kalau mau ikut gimana caranya ya?” tanyaku.

“Oh, kalau itu mas datang aja besok jam 4 sore, ketemu mas Ryan atau Mas Romi,” jawabnya.

“Oh, gitu ya. Ya sudah mbak, makasih,” kataku.

Aku lalu kembali bergegas ke arah motor. Pulang.

ESOKNYA, tepat pukul 4. Aku sudah berada di halaman muka YSI lagi. Dengan misi lain: ikut Suara Hati. Dari mula aku baca nama kelompok relawan itu, entah kenapa aku langsung suka. Namanya terdengar seksi, serupa judul lagu Iwan Fals, salah satu musisi Indonesia yang lirik lagunya kusuka.

Aih, rupanya lebih ramai kalau sore. Di sudut selatan, dua orang kekasih sedang bercengkrama dengan akrabnya, si jejaka menggendong bayi lucu (yang akhirnya kutahu bernama Fauzan), sedang yang mojang berdiri di sampingnya, sambil sesekali “berdialog” dan mencubiti gemas pipi si adik bayi.

Di lain sudut, bayi-bayi lain sedang digendong juga oleh pengunjung yang banyak datang. Anak yang sudah agak besar, berlalu lalang berkejar-kejaran.

Hari itu minggu, dan rupanya ini hari sibuk di Sayap Ibu. Banyak pengunjung. Kucari “Si Mbak”, setelah kutemukan langsung saja kusapa. “Halo mbak, aku yang kemarin ke sini. Eh iya, yang namanya Ryan dan Romi yang mana ya?”.

“Oh. Mas to. Yang itu mas,” sahutnya sembari menunjuk pada seorang lelaki yang rupanya bernama Ryan yang sedang menggendong seorang anak kecil yang juga imut (yang ini bernama Valent). Kuhampiri dan langsung aku memperkenalkan diri serta menyatakan maksud kedatanganku.

“Oh iya. Silahkan mas isi formulir aja,” kata Ryan. Entah Ryan masih ingat atau tidak awal mula kami jumpa. Yang pasti semenjak itu aku “resmi” bergabung dengan kawan-kawan di Suara Hati.

SUARA hati didirikan sekitar akhir 2006. Oleh beberapa orang yang terlanjur “ediktit” (baca: kecanduan) dengan tingkah laku dan polah lugu anak-anak kecil di Sayap Ibu. Memang, setelah kualami sendiri, senyuman dan tawa anak-anak ternyata memiliki efek sihir, bak mantra dukun tua. Idenya, mengumpulkan relawan untuk mendidik serta mengasuh anak-anak di Sayap Ibu. Simsalabim: tercipta Suara Hati.

Suara hati serupa organisasi. Hierarki sudah ada, ketua, sekretaris, bendahara. Tapi entah bisa dibilang organisasi atau tidak, belum ada AD- ART dan sebagainya, perangkat awal organisasi. Aku juga waktu itu tidak tertarik untuk bertanya mengenai ini. Yah, lagi pula mungkin lebih baik jika Suara Hati tidak “di- organ- kan”. Nanti ketulusannya menghilang, ditelan tetek bengek organisasi yang njelimet.

Anggotanya, jika tidak salah ingat, hampir 50-an. Data ini kudapat dari Edo, juga anggota Suara Hati ketika perayaan kelahiran Suara Hati. Tapi yang aktif hanya sekitar 20an orang (aku termasuk yang tidak aktif, haha ). Anggotanya kebanyakan mahasiswa, yang tertarik bergabung dengan alasan beragam. Tapi mungkin satu alasan yang dapat merangkum semuanya: menyumbangkan sedikit tenaga untuk kemanusiaan. Rata-rata mereka menyempatkan 2 hari dalam kesibukan mereka dalam seminggu untuk datang dan bercengkrama dengan anak-anak yang kulihat gembira kala mereka hadir, manja.

Kegiatan yang sempat aku ikuti, mengajari anak-anak menggambar dan berhitung. Yang lebih sering: menggendong adik-adik bayi, memberinya manakn atau mencoba menggati popoknya yang basah karena air seni. Itupun hanya dua bulan, setelah itu aku banyak kesibukan. Seliweran ke sana-sini, serta bergumul dengan teks skripsi yang tak kunjung selesai.

November 2007, setelah 3 bulan menghilang, aku muncul lagi di Sayap Ibu, dan tentu Suara Hati. Rindu rasanya dengan tangis dan tawa anak-anak kecil di situ, yang kadang secara ajaib dapat mengobati kejenuhan atau pusing kepala yang sering tiba-tiba datang. Bertemu kembali dengan Ryan, Romi, dan Edo. Tiga bujang di Suara Hati yang namanya kuingat dengan kuat. Rupanya mereka tetap aktif di Suara Hati kala itu. Datang saban sore untuk membagi sedikit tenaga yang mereka punya. Salut untuk kalian, kawan.

Yang lain aku lupa. Terlebih yang perempuan, susah sekali mengingat nama mereka. Lagipula, aku waktu itu aku tidak terlalu akrab dengan mereka, karena agak minder bergaul dengan wanita. Terlebih yang cantik rupa. (Hahaha, lebai abis). Lagipula, dulu budaya mereka agak lain denganku. Mereka senang nongkrong di Mall selepas dari Sayap Ibu. Aku beberapa kali mereka ajak. Tapi aku memilih langsung pulang saja.

Ada kejadian lucu tentang mereka. Waktu itu aku sempat diajak berkumpul oleh empat sekawan Suara Hati: Ryan, Romi, Vita, dan Tia, setelah dari Sayap Ibu. Kami ke daerah Seturan, dekat kampus STIE YKPN. Rupanya mereka berolahraga, renang. Aku tidak membawa celana pengganti, jadi aku tidak ikut mereka membenamkan diri ke dalam kolam. Aku sedikit berbicara dengan mereka ketika mereka sedang berenang. Tapi tiba-tiba kebiasaan yang dulu mulai menjadi budaya karena ada beberapa masalah dan skripsi yang tak kunjung kelar datang kembali: bengong. Sementara mereka terus asik berenang.

Lucunya, ketika sedang di pinggir kolam aku menemukan mainan baru, botol mineral dan air kolam. Iseng saja, kumasukkan dan kukeluarkan air ke dalam botol secara berulang-ulang. Nah, pada saat itu aku sadari airnya berbau tawas, pemutih. Untuk meyakinkan, kutuangkan sedikit airnya kearah muka untuk mencium langsung baunya. Dua sekawan, Tia dan Vita sontak berteriak.

“Ih, Arie jorok!! Jangan diminum airnya!” seru mereka, kompak. Rupanya sedari tadi mereka memerhatikan aku yang terbengong-bengong sendirian di pinggir kolam. Dan mereka salah paham, mengira aku hendak meminum air kolam.

Sejurus kemudian, lamat-lamat kudengar kembali Vita dan Tia “Rom, temanmu satu itu ANEH ya.” Aku tak hiraukan omongan mereka. Tetapi merutuk dalam hati: “Gua ga aneh woi! Tapi GILA. Hahaha.”

HAMPIR dua tahun aku tak lagi bertandang ke YSI. Tak lagi aktif di Suara Hati. Tak lagi mendengar isak tangis atau tawa gelak mereka yang dulu jadi obat ampuh untuk menghapus kelelahan dan kegelisahan.

Kini aku sudah lulus. Tidak lagi dipusingkan dengan skripsi. Pekerjaan, jodoh, remeh temeh hidup, atau mungkin mati, kini mulai jadi hal-hal baru yang sering mengganjal di kepala tiba-tiba.

Aku kerap mengingat kembali nama-nama mereka di saat-saat seperti ini: Valen, Agus, Fauzan, Juwita, Mamat, Tomo, Ito, Nugroho. Entah mereka sudah sebesar mana sekarang. Terakhir, aku tahu Ito telah dipindahkan ke Yayasan Sayap Ibu di Desa Kadirojo, Purwomartani, Kalasan, Sleman
Yogyakarta, dan Juwita telah diadopsi sebuah keluarga. Lalu entah pula di mana Romi, Ryan, Vita, Tia, Edo, atau kawan-kawan lain. Yang pasti, pengalaman sejenak bersama kalian adalah sebuah kesenangan yang tak terlupakan.

Aku ingin menutup tulisan ini dengan sebuah pengharapan:

Soe Hok Gie berkata bahwa nasib yang paling baik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua. Mungkin ada benarnya, tapi:

Persetan, aku ingin mati tua hingga
melihat kalian kawan-kawan kecilku
tumbuh dewasa dan berdiri tegak,

mengacungkan tinju kalian pada
kesombongan dunia,
melihat kalian menggenggam cahaya
yang dipercikkan surga.

Aku ingin berumur tua,
melihat kalian tumbuh besar,
berbicara macam-macam
tentang benci
juga cinta.

Ketika itu telah berlaku,
maukah kalian datang
ke pemakamanku yang kini mulai
dihantui ketakutan akan tua
dan kematian,
kawan?



Lampung, Juli 2009. Pagi buta.
Untuk kawan-kawan kecilku di Yayasan Sayap Ibu.

Sabtu, Juli 18, 2009

Saat Mati Lampu di Beranda Rumahmu

Pada lelehan lilin,
nyala api yang pendar,
dan bayangan kau yang
bergoyanggoyang di dinding

aku temukan:

terang yang paling nyala adalah
gelap.

Takkah kau?

Dari puntung rokok yang
menggunung di asbak,
serbuk kopi yang pekat,
dan mulut kau yang berhenti berucap

aku dapatkan:

riuh yang paling bising adalah
hening..

Kau tak?

Minggu, Juli 12, 2009

Kulminasi

Baiknya kita sudahkan saja
dendam yang bara di dada
benci yang merah di mata

kalau terbakar hendak padamkan dengan apa?

Sudahlah kita usaikan saja
kesumat yang ombak di raga
marah yang bah di kepal

kalau tenggelam siapa hendak sumbang sesal?

Cukuplah sementara kita pejam,
sebelum malam
makin nyalang.

Lampung, Juli 2009.

Jaket

Aku kehilangan
jaket yang kau berikan
pada hari lahirku yang ke sekian.

Dulu jaket itu kedodoran,
karenanya aku kecilkan
hingga pas di badan

Namun kau mengeluh.

“Aku sengaja membeli yang besar,”
katamu.

“Aku akan butuh sedikit ruang di sela jaketmu untuk menyimpan pelukan dan keluhan,”
katamu lagi.

Ternyata kau benar.

Ukuran yang pas bahkan
tak cukup buat menampung
ciuman dan desahan.

Pelukan dan keluhan,
entah di mana
bisa disimpan.

Mungkin itu pula yang
menyebabkan kau akhirnya
membeli jaket yang lain, yang

kau hadiahkan ke lelaki lain,
yang berjanji tak akan pernah
buat jaket itu kecil.

Kini, kau punya
cukup ruang untuk
berpeluk dan berpeluh,

di jaketnya,
di ruang
dadanya.

Sedang aku, bahkan
tak bisa mengingat
di mana jaket yang

telah lusuh dan
tak muat di badan
itu kusimpan.

Kamis, Juli 09, 2009

Sore di Dermaga Kalianda


I

Kita terpaku lagi,
saat senja meremang di
dermaga.

Pasir, ombak, karang,
pulau Sebuku dan Sebesi
yang termangu menatap Canti.

Semua masih sama,
tampak sama.

Kita terdiam,
sepi.

II

Kapalkapal beranjak pulang
setelah lelah
berkejaran dengan angin

Nelayan tertidur di atas jaring,
entah berapa ikan yang
mereka bawa serta.

Kita bisu makin dalam,
hening.

III

Lalu udara tibatiba
jadi berat,
bising menyeruak.

Suara pedagang ikan
teriakan petugas lelang
kentongan penjual makanan keliling.

Semua masih sama,
tampak sama,
kawan, tapi,

bukankah kesamaan ini yang selalu kita rindu,
saat misteri tentang segala
kembali menjadi tanya
di kepala?

Gelisah usang tentang
ada dan tiada,
atau hampa dan isi..

IV

Ah, tidakkah kita akan
selalu merindu dermaga ini,
kawan?

Dermaga yang bercerita tentang
bola yang kita gelindingkan di pasir
umangumang yang kita lepas di atas karang
air laut yang asinnya lekat di bibir.

Kenangankenangan yang kini
kita ubah
jadi komedi.

V

Malam mulai menculik senja,
gelap turun pelanpelan
di dermaga

kita terbangun dari diam,
lalu pulang sambil
membawa kenangan.

Lampung, Juli 2009.

Ket:
Sebuku dan Sebesi: Pulau di mulut Selat Sunda, terletak bersebelahan dengan anak gunung Krakatau.

Canti: Pantai yang terletak 12 kilometer dari Kalianda, ibu kota Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Gambar dicomot dari: http://picasaweb.google.com/lh/photo/czdxBE2vHccflaE9rKI3Pg

Selasa, Juli 07, 2009

Dongeng Tidur Buat Nakan


Tidurlah kau Nakan, tapi
jangan paksa Mamak bercerita,
tak ada cerita yang sisa buat kau.

Konon gununggunung.
Tapi cakarcakar gedung telah
buat mereka mumur.

Alkisah bentang bendang.
Namun kakikaki rumah telah
lindas mereka hingga meremah.

Syahdan sungaisungai.
Tapi tubuh mereka tak lagi basah
kering tersumbat limbah dan sampah.

Lalu kerlap bintang.
Pula hilang berganti
kelip lampu pemancar selular.

Lalu apa lagi yang bisa mamak ceritakan, Kan?

Bukankah dongeng kota takkan bisa buat kau lelap,
kan?

Tidurlah saja kau Nakan, tapi
jangan paksa Mamak bercerita,
tak ada cerita yang sisa buat kau.


Nakan: Keponakan (Lampung)
Mamak: Paman (Lampung)

Gambar diunduh dari: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRBihGdXQS1yGqGyGQZWKpFPCvL7UEKIE4FWf-aEiGqZhut_qYpmen2kS2qBWIiWndQ9YgDwwu4t074EaBY2lqCTkqBYsc5WoKzqmeY2WUS8WLsMcAmI4LwaSUO-U4WPZTVWYJi_N7CA/s320/sleeping+child.jpg