Jangan bosan mengeluh di kupingku
lewat suara kau yang parau
dan samar itu sayang
dunia ini terlalu lengang tanpa keluh kau
meski:
Di perempatan, bocah-bocah tak beribu tak henti teriak minta dikasihani. Mereka dipaksa mengerti, tangan diciptakan untuk menengadah. Bukan buat mengapak kayu biar belah, atau menggodam batu biar pecah.
Jangan bosan mengeluh di kupingku.
Dunia ini terlalu sepi, meski:
Di gang-gang sempit dan basah, perempuan-perempuan teriak jual harga diri. Hidup telah buat mereka paham, kehormatan tak pernah bisa ditukar dengan roti. Lagipula, kita tak pernah bisa kenyang hanya dengan menjaga kesucian bukan? Dan tahukah kau sayang, Tuhan selalu mati saat perut sedang bunyi.
Jangan bosan mengeluh di kupingku.
Dunia terlalu hening meski:
Di televisi, politisi tak bosan teriak obral janji. Syahdan, tak akan ada lagi perut yang lapar asal mereka bisa duduk dengan tenang.
Ah sayang, tak kau lihatkah? Mereka bahkan lupa menggerus lemak di perut sendiri.
Maka jangan pernah berhenti mengeluh lewat suara kau yang berat dan redam itu sayang.
Meski kau punya keluh hanya akan memantul di telinga kau lagi,
lewat keluhku sendiri.
Jumat, Agustus 28, 2009
Jumat, Agustus 07, 2009
Sajak Yang Kucuri Dari Fotomu 2
I
Aku ingin larian di padang alismu,
bermain layangan atau
berkejaran dengan kupu,
meresapi belaian ilalang,
menikmati lelagu angin yang bernada girang,
menghidu semerbak wangi perdu,
dan menghayati langit nila yang nyalang di dahimu.
II
Aku ingin berenang di basah kelopakmu,
mata air yang tak henti mengalir.
di muara hatimu arusnya menghilir.
Di pasir pinggir muaramu,
ada butir-butir mosaik masa lalu,
pelan aku rekatkan mereka satu-satu,
hingga melayang aku pada rindu,
tempat jengah segala menuju.
III
Kakiku telah lelah menjelajah,
bingung hendak ke mana lagi mengarah.
Di pasirmu yang basah itu aku rebah,
telentang melihat seriti yang terbang rendah.
: Ah sayang, inginku akanmu makin enggan sudah.
Aku ingin larian di padang alismu,
bermain layangan atau
berkejaran dengan kupu,
meresapi belaian ilalang,
menikmati lelagu angin yang bernada girang,
menghidu semerbak wangi perdu,
dan menghayati langit nila yang nyalang di dahimu.
II
Aku ingin berenang di basah kelopakmu,
mata air yang tak henti mengalir.
di muara hatimu arusnya menghilir.
Di pasir pinggir muaramu,
ada butir-butir mosaik masa lalu,
pelan aku rekatkan mereka satu-satu,
hingga melayang aku pada rindu,
tempat jengah segala menuju.
III
Kakiku telah lelah menjelajah,
bingung hendak ke mana lagi mengarah.
Di pasirmu yang basah itu aku rebah,
telentang melihat seriti yang terbang rendah.
: Ah sayang, inginku akanmu makin enggan sudah.
Senin, Agustus 03, 2009
Sajak Yang Kucuri Dari Fotomu
Kepada: S
I
Di bening matamu aku lihat pantulan caya bulan
di air laut pinggir dermaga dekat rumahku.
Di dalamnya, di malam setengah usia
seperti sekarang, kau bisa perhatikan
ikan-ikan dan cecumi berenang menimbulkan riak.
II
Dari rekah bibirmu aku temukan riang yang tak sudah
riah pesta para dewa.
Di panggung sungging senyummu itu,
penari berdansa, pemusik bernada,
penyair berstanza.
III
Malam ini, caya mata dan riang bibirmu
menjelma riuh yang tak habis di sepiku.
I
Di bening matamu aku lihat pantulan caya bulan
di air laut pinggir dermaga dekat rumahku.
Di dalamnya, di malam setengah usia
seperti sekarang, kau bisa perhatikan
ikan-ikan dan cecumi berenang menimbulkan riak.
II
Dari rekah bibirmu aku temukan riang yang tak sudah
riah pesta para dewa.
Di panggung sungging senyummu itu,
penari berdansa, pemusik bernada,
penyair berstanza.
III
Malam ini, caya mata dan riang bibirmu
menjelma riuh yang tak habis di sepiku.
Bisikan
malam jalang, dingin menusuk
tulang.
rindu tersangkut di
ilalang
Kaukah itu yang kerap memanggilku
pulang?
tulang.
rindu tersangkut di
ilalang
Kaukah itu yang kerap memanggilku
pulang?
Langganan:
Postingan (Atom)