Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Senin, Oktober 06, 2008

TANGISAN

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis.

Suara itu kembali terngiang. Suara tangisan. Tangisan bayi. Bayi sialan itu.

Aku ingat malam itu. Malam yang liar. Setidaknya untukmu. Saat kau menari berahi. Menggoyangkan tubuhmu yang mungil di atas tubuhku. Erang, gelinjang. Getar, kapar.

”Aku ingin bersamamu,” katamu.

”Tidak,” kataku. ”Kau kekasih sahabatku”

Kau menangis. Aku menyuruhmu diam. Lalu kau membalikkan badanmu. Tidak lagi menghadapku. Dan kau diam. Walau aku tahu kau masih menangis, tubuhmu bergetar.

Aku hanya diam. Kau telah diam. Aku benci tangisan.

Aku tidak mengenalmu. Aku hanya mengenal kekasihmu. Yang angkuh, karena ketampanannya. Ketampanan yang membuat banyak perempuan menekukkan lutut. Ketampanan yang mulai ia salah pergunakan ketika perempuan yang ia cintai meninggalkannya karena lelaki lain. Lelaki pilihan ibunya. Ketampanan yang membuat ia percaya dapat menjadikan semua perempuan sebagai boneka. Dan kau salah satunya. Bonekanya.

Aku tak peduli dengan sifatnya. Dia sahabatku. Hingga saat itu. Saat ia menghancurkan kepercayaan yang aku berikan kepadanya. Kepercayaan yang aku berikan sejak lama, kepada semua kawan, semua sahabat. Ia merebut perempuanku. Kekasihku. Yang aku cinta, aku jaga.

”Aku berciuman dengannya,” kata perempuan itu, kekasihku. Mengakui dosanya.

Aku terdiam.

”Hanya sekali, dan aku menyesal, aku mencintaimu,” katanya lagi.

Aku menatapnya. Melihat kesungguhan di matanya saat ia bilang ia mencintaiku. Aku masih terdiam.

”Dia sahabatku, kau kekasihku”. Aku mulai bicara.

”Aku sayang kau, juga dia,” kataku. Aku kembali diam.

Saat itu, perempuan itu bukan lagi kekasihku. Dan kekasihmu, bukan lagi sahabatku.

Perempuan itu menangis. Aku melangkah pergi. Aku benci tangisan.


Aku mengenalmu suatu ketika. Saat perempuan itu, yang dulu kekasihku, melangsungkan pernikahannya. Ia menikah dengan lelaki yang tidak ia cinta. Atau mungkin ia mencintainya, entah. Aku hanya tahu mereka dijodohkan.

Kau datang dengannya, pria itu, yang dulu sahabatku. Kau tampak mesra dengannya. Menggandeng tangannya. Menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Kau mencintainya.

Tapi aku juga lihat kebencian. Di sudut lain matamu. Sinar yang lain, saat kau menatap matanya. Kebencian entah apa. Saat itu, aku tahu, aku bisa membalaskan dendam. Dendam yang dua tahun ini aku pendam.

Aku hampiri kalian. Menjabat tangan kekasihmu. Memeluknya, layaknya seorang sahabat. Ia senang melihatku lagi, setelah sekian lama. Aku dan lelaki itu pun hanyut dalam cerita, tentang ini dan itu.

Dan akhirnya, saat yang aku tunggu tiba. Kesempatan yang aku tunggu sejak tadi. Ia kenalkan aku padamu. Kita bersalaman. Aku menatapmu dalam. Kau menatapku malu. Dan kebencian di matamu semakin terlihat. Semakin jelas aku merasakannya. Dan aku semakin tahu, aku bisa mendapatkanmu. Membalaskan dendam yang kupendam. Pada lelaki itu. Pada kekasihmu, sahabatku. Dendam yang bisa kulampiaskan, dengan menjadikan engkau sebagai tumbal.

Dan sungguh, ia tidak tahu aku mendendam. Ia hanya tahu bahwa aku telah berpisah dengan perempuan itu, yang dulu kekasihku. Tanpa tahu kenapa.

”Aku dan dia tidak cocok,” jawabku suatu saat. Ketika lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, bertanya alasan aku dan perempuan itu, yang kini ada di pelaminan, berpisah.

Aku juga berpisah dengan lelaki itu, kekasihmu. Sahabatku. Juga dengan orang-orang di kehidupanku dahulu. Aku memutuskan untuk berkelana. Tak lama setelah pengakuan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku cairkan semua tabungan yang aku punya, dan mulai menjelajah. Dari satu tempat ke tempat lain. Menemui orang-orang yang belum pernah aku kenal, dan menjadikan mereka awal dari sebuah kehidupan yang benar-benar baru.

”Aku ingin menenangkan diri,” kataku pada lelaki itu, kekasihmu, saat ia tanya alasanku pergi.

Dan setelah dua tahun. Sekarang. Aku memutuskan untuk pulang. Setelah mendengar kabar itu. Kabar pernikahannya. Pernikahan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku masih mencintainya, walau tidak pernah mau memberikan dia pengampunan. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali. Melihat ia pergi. Selamanya..

Di pelaminan, perempuan itu, yang dulu kekasihku, menangis. Ia terisak, menciumi tangan kedua orangtuanya. Dan orangtua lelaki itu, yang kini suaminya. Meminta restu agar bahagia di kehidupan yang akan datang.

Aku muak. Aku pergi. Aku benci tangisan.

Dan kini, kau telah kudapatkan. Kau telah jatuh ke dalam pelukanku. Telah hanyut dalam ciuman dan cumbuku. Seperti yang telah kuperkirakan, mudah bagiku mendapatkanmu.

Aku hanya mendekati engkau, mencoba mengenal kau lebih dalam, mendengarkan cerita dan keluh kesahmu, sembari mencari titik lemahmu. Suatu saat, akhirnya kau membuka diri.

”Aku beberapa kali dihianatinya,” katamu. Menjelaskan kebencian yang pernah aku lihat. Di matamu. Dulu. Di pernikahan itu.

”Beberapa kali aku memergoki dia meniduri perempuan lain,” katamu lagi.

Tapi kau mencintainya. Sungguh mencintainya. Dia lelaki pertama yang menyentuhmu. Merenggut kesucianmu. Dan seperti perempuan lain. Perempuan-perempuan bodoh yang menganggap keperawanan sebuah kemuliaan. Kau menghamba padanya. Seperti manusia yang menghamba Tuhan. Dan lelaki itu, sahabatku, juga mencintaimu. Seperti kau mencintainya. Walau kenyataannya, kau hanya ia jadikan boneka.

Kau menangis. Sedang aku benci tangisan. Tapi ini tangisan yang aku tunggu. Setelah aku menenangkanmu, aku menidurimu. Aku membalaskan dendam.

Setelah malam itu, malam percintaan kita yang terakhir. Malam saat kau katakan kau ingin bersamaku, aku memutuskan hubungan denganmu. Aku katakan padamu untuk melupakanku, dan kembali ke pangkuan lelaki itu. Kekasihmu, bekas sahabatku, yang tak pernah tahu bahwa aku telah menidurimu. Aku sengaja membiarkan kau kembali menghamba. Di malam terakhir kita bercinta, kau katakan padaku. Bahwa kau akan menikah dengannya. Aku menyeringai dalam hati. Beberapa malam sebelum kalian menikah, aku akan memberitahu lelaki itu, kekasihmu, tentang dosa yang kita perbuat di belakangnya.

Aku ingin melihatnya menangis. Seperti tangisanmu, tangisan kekasihku dulu, atau tangisan perempuan-perempuan lain yang ia jadikan boneka. Setelah melihatnya menangis, aku akan pergi, kembali mengembara. Aku benci tangisan.


Tapi nasib tidak memihakku. Satu bulan setelah percintaan itu, kau menghadapku. Dengan tangis.

”Aku hamil,” katamu.

”Ini anakmu, aku tidak pernah bercinta dengannya setelah percintaan kita yang terakhir,” katamu lagi.

Aku terdiam.

”Nikahi aku,” kau kembali berujar.

”Aku akan meninggalkannya,” ujarmu lagi.

Aku masih terdiam.

”Tidak,” aku berkata, tidak lagi diam.

”Aku tidak mau menikahimu, aku tidak mencintaimu,” tegasku.

”Lahirkan anak itu, aku akan bertanggungjawab terhadap penghidupan dan kehidupannya kelak,” kataku lagi.

”Tapi aku tidak mau menikahimu. Tidak bisa,” kataku.

Aku kembali terdiam (sejenak).

”Atau gugurkan,” aku kembali bicara.

”Hanya itu pilihannya,” kataku, ragu.

Kau terdiam (sejenak). Dan mulai menangis. Aku menyuruhmu diam. Kau terdiam (lagi). Aku benci tangisan. Sungguh aku benci.


Akhirnya engkau memutuskan pilihan. Pilihan kedua yang aku tawarkan, bukan yang pertama. Kau gugurkan anak itu, anakmu, anakku. Kau tidak sanggup melahirkannya tanpa aku nikahi. Kau terlalu takut dengan gunjingan yang akan kau terima. Dan kau, terlalu takut ditinggalkan oleh lelaki itu, kekasihmu, calon suamimu, sahabatku.
Aku yang mengantarkanmu. Mengantar kau ke seorang dukun tua di sebuah entah. Mengantarmu menggugurkan kandunganmu, anakku.

Aku meringis melihat prosesi itu. Melihat dukun tua itu memasukkan benda asing ke kemaluanmu. Melihatmu meringis menahan erang. Melihat kau berdarah-darah. Dan aku, lagi-lagi, hanya terdiam.

Kau tidak menangis. Kau diam. Kau telah mengerti, aku benci tangisan.


Dua bulan setelah kejadian itu. Kau kembali menjalankan kehidupanmu yang biasa. Kembali mesra dengannya. Kembali menggandeng tangannya. Kembali menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Tapi kau tak lagi mencintainya. Kau bahagia, kau akan menikah sebentar lagi.

Tapi tiba-tiba kau mendadak gila.

”Aku sering mendengarkan tangisan,” katamu padaku, suatu ketika.

”Bayi itu, bayi kita, menghantuiku,” katamu.

Aku tahu, bayi itu tidak menghantuimu. Penyesalan yang menghantuimu. Penyesalan yang selama ini kau pendam di bawah sadar. Penyesalan yang sengaja kau lupakan.

Kau menangis lagi. Aku terdiam. Aku mulai menangis dalam hati. Tapi sungguh, aku benci tangisan.


Tanah kuburan itu masih basah. Kuburanmu, perempuan yang kujadikan tumbal atas kepercayaanku akan ”ada”. Tumbal atas dendam entah apa. Kau menyerah. Setelah lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, meninggalkanmu. Ia membatalkan pernikahan karena kegilaanmu. Ia tidak lagi mencintaimu. Ia beralih ke perempuan lain. Boneka lain. Kau tenggak pil penenang. Hingga seberkas sinar menjemputmu. Kau meregang nyawa.

Aku terdiam. Melihat tanahmu yang masih basah. Selintas, aku lihat lelaki itu, yang dulu kekasihmu, yang dulu sahabatku. Melihatnya menangis. Tapi tidak menangisi kekalahan. Seperti yang dulu aku rencanakan. Dan aku, tak jadi menertawai tangisannya. Tangisan yang benar-benar aku tunggu, setelah tangisanmu malam itu. Malam terakhir kita bercumbu. Dia, lelaki itu, menangisi kematianmu. Aku terdiam.

Tangisan itu kini menghantuiku. Tangisanmu, dan tangisan bayi itu, anakku. Aku terkena karma. Karma yang kau dan bayi itu kutukkan kepadaku. Karma yang menjelma tangis. Sungguh, aku benci tangisan.

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis. Tapi suara itu tak lagi terngiang. Suara tangisan itu. Tangisan bayi itu. Bayi sialan itu. Aku meregang nyawa.

Lampung, 30 September 2008.