Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Minggu, November 15, 2009

Perpustakaan Emperan, Komunitas Tanpa Nama




Kali terakhir saya mengunjungi Jogjakarta, bulan Ramadhan lalu. Saya bertemu dengan Dimas Pratisto, seorang kawan di Komunitas Tanpa Nama (KTN), komunitas sastra yang kami dan delapan orang kawan lain bentuk di Jogjakarta. Siang hari yang panas itu, saya berjanji betemu dengan Dimas di tempat usahanya, warung masakan Aceh di daerah Baciro, dekat Asrama Mahasiswa Aceh di Yogyakarta. Ketika saya sampai di Baciro, Dimas sudah ada di sana. Dia lalu mengajak saya untuk mengobrol di dapur warungnya, sebuah kontrakan di dekat situ.

“Biar lebih santai,” katanya. Saya pun mengiyakan. Kami lalu beranjak ke sana.

Sesampai di kontrakan, Dimas membuatkan kopi. Kami mengobrol santai sambil menyeruput kopi yang ia buatkan. Kami berdua sedang tidak berpuasa. Saya, hari itu akan melakukan perjalanan jauh, pulang ke Lampung. Karenanya saya malas berpuasa. Dimas, dia agnostik, tak terlalu percaya tuhan ada (hahaha). Setelah beberapa obrolan basa-basi sekadar, saya mengutarakan maksud saya bertemu dengannya siang itu. Saya bilang ke dia, saya tidak bisa lagi menetap di Jogjakarta. Saya sudah terikat ruang lain. Untuk sementara, saya akan tinggal di Lampung, menyenangkan hati orangtua saya agar menetap di sana, sembari mencari kemungkinan “ruang” lain. Karenanya, segala kegiatan yang ada di Jogjakarta, sedikit terpaksa harus saya tinggalkan. Termasuk kegiatan komunitas.

Tapi, karena saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan kegiatan menulis dan berkomunitas, saya bilang ke dia, bahwa saya ingin membuat komunitas sastra di kampung halaman saya, Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan. Komunitas baru, dan tentu saja, orang-orang baru. Di dapurnya itu, saya sekaligus berpesan agar kegiatan komunitas kami jangan sampai mengendur. Sayang sekali jika komunitas yang sudah kami bentuk dengan mengorbankan tidak sedikit waktu dan tenaga harus berhenti di tengah jalan. Dimas mengiyakan.

“Kamu yakin mau bentuk komunitas baru?” Tanya Dimas kemudian.

“Kenapa tidak melanjutkan komunitas yang udah ada aja?” tanyanya lagi.

“Kan kamu tinggal cari orang-orang buat aktif di komunitas.”

“Lagipula, beberapa kawan komunitas suatu saat pasti juga balik kampung seperti kamu,” ujarnya.

“Nanti mereka yang balik kampung juga, suruh buat KTN di daerahnya masing-masing,”

“Nanti sapatahu malah kita bisa bikin jaringan nasional dari bibit-bibit komunitas yang kalian bentuk, ” kata Dimas lagi.

Saya lalu berpikir, usulan Dimas untuk “memindahkan” KTN ke kampung halaman saya tak ada salahnya. Mimpi membangun jaringan komunitas yang lebih luas tentu saja mimpi yang masuk akal. Lagipula, dengan cara ini, ikatan emosional saya dengan kawan-kawan komunitas di Jogja bisa tetap ada. Sebenarnya juga, saya agak berat pisah dengan mereka. Saya lalu menyetujui usulan Dimas.

Tak terasa, kopi sudah habis. Sudah jam dua lewat tiga puluh. Telepon genggam saya berbunyi. Ternyata Didik menelepon. Didik kawan kuliah saya, juga asal Lampung. Hari itu saya dan dia naik bis yang sama. Dia marah-marah kepada saya. Setengah jam lagi bis yang kami tumpangi akan berangkat.

“Cepet balik woy,” kata Didik. Untung saja dia menelepon, kalau tidak saya pasti lupa waktu. Dan saya tiba-tiba teringat, saya bahkan belum mengepak pakaian.

Setelah berpamitan dengan Dimas dan menitip salam ke kawan-kawan komunitas yang lain, saya bergegas menuju kosan Didik.

Di bis menuju Lampung, entah kenapa saya sedikit sedih meninggalkan Jogja, kota yang lima tahun lebih saya tinggali. Lesehan pinggir jalannya, warung-warung kopi serta obrolan-obrolannya, orang-orangnya, suasananya, semua.

***

Setelah sampai di Lampung, saya berpikir keras. Kegiatan awal apa yang bisa mengumpulkan kawan-kawan untuk berkomunitas? Dengan modal saya yang tidak seberapa tentunya. Lalu saya melihat buku-buku saya yang tersusun di lemari. Saya kemudian berpikir, kenapa tidak mencoba membuat perpustakaan pinggir jalan? Orang-orang yang datang membaca bisa saya ajak bikin komunitas. Paling tidak, saya bisa sedikit beramal. Mumpung ini masih bulan puasa. Saya kemudian mengumpulkan semua buku di dalam lemari. Ternyata cuma ada satu kardus, dan kebanyakan buku-buku sastra. Saya pikir lumayanlah untuk perpustakaan kelas emperan.

Setelah yakin mau bikin perpustakaan emperan sebagai mula kegiatan mengumpulkan orang-orang untuk berkomunitas, saya kemudian menemui Napoleon Bonaparte. Dia biasa dipanggil Leon. Dia aktif di Asosiasi Seni Independen Kalianda (ASIK). Dia menjabat ketua. Saya langsung mengingat dia dan ASIKnya, soalnya mungkin saja dia tertarik dengan kegiatan sosial non profit seperti ini. Lagipula, saya tahu dia juga senang menulis. Saya pun menemuinya di distro tempat biasa dia nongkrong.
Ketika bertemu dengan dia, saya tanpa basa-basi langsung bertanya: “Lu sibuk ga Yon?”

“Ngemper yuk, ngabuburit sambil buka perpus,” ajak saya.

Dia menanyakan maksud saya lebih lanjut. Saya lalu menceritakan kehendak saya, tentang keinginan berkomunitas, saran Dimas di Yogyakarta, dan lainnya. Tak menyangka, dia mengiyakan ajakan saya.

“Ya udah, kalo lu setuju besok gua bikin spanduknya,” kata saya.

“Kalo spanduknya udah jadi, tar gua hubungin ya,” kata saya lagi. Saya senang dia bersedia bantu-bantu saya.

Tapi ternyata, spanduk tidak bisa jadi cepat. Baru bisa jadi tiga hari kemudian. Padahal lebaran tinggal lima hari lagi. Saya hitung-hitung, perpustakaan bakal tidak efektif. Saya lalu menjumpai Leon lagi, dan bilang ke dia kalau kegiatan perpustakaan tidak jadi dilaksanakan di akhir bulan puasa ini. Mungkin setelah lebaran baru bisa dilaksanakan. Lagi-lagi, Leon mengiyakan. Saya merasa agak sedikit bersalah karena kegiatan tidak jadi jalan, padahal dia sudah semangat membantu. Dan waktu saya konfirmasi ke dia kalau jadwal ngemper diundur, dia bilang ada beberapa orang yang tertarik dan mau bantu. Dan ada beberapa bahkan tertarik buat menyumbang buku. Ah, saya jadi tambah merasa bersalah. Tapi mau bagaimana lagi, mengingat hari lebaran yang sudah di depan mata, dan sarana kegiatan belum lengkap, mau tidak mau kegiatan harus saya batalkan.

***

23 Oktober 2009. Sudah empat hari ini perpustakaan emperan yang saya rencanakan berjalan. Setelah lama tertunda karena tetekbengek silaturahmi paska lebaran, dan ada beberapa keperluan yang harus saya lakukan, akhirnya mimpi ini bisa terealisasi.

Tadinya saya ingin mengajak Leon untuk menemani saya ngemper. Tapi ternyata dia sedang sakit, terkena tipes.

“Ya udah, lu istirahat aja dulu. Biar gua sendiri aja,” kata saya.

“Ga, gua bisa kok, besok gua temenin,” jawab Leon. Dia memang sedikit keras kepala walau kepalanya tak sekeras saya. Hahaha.

Ternyata, kekeraskepalaannya tidak bisa menyembuhkan sakit yang dia derita. Kabarnya, kondisi badannya semakin menurun. Tentu dia tak bisa menemani saya ngemper, buka perpustakaan.

Untungnya M Nur Andriansyah, saya biasa memanggilnya Bang Andri, bersedia menemani saya memermalukan diri, ngemper di trotoar dekat bunderan tugu Adipura, dekat kantor Bupati Lampung Selatan. Mulai dari awal buka perpus sampai hari ke empat ini, dia menemani saya, mulai dari memasang spanduk, menggelar tikar, menyusun buku, makan batagor, minum es buah, sampai bengong-bengong menunggu orang-orang yang sudi mampir dan menumpang baca.

Ternyata, minat baca di Lampung Selatan memang tidak sebagus Jogja. Hari pertama, cuma ada dua orang perempuan yang membaca sebentar. Salah satunya malah mencari buku hukum berbahasa inggris. Rupanya, dia kira saya sekaligus berjualan buku. Ada-ada saja. Pengunjung lain, hanya beberapa orang kawan yang lewat dan mampir untuk sekedar menyapa. Hari ke dua tak jauh beda. Cuma, ada seorang mbak yang mampir untuk melihat-lihat dan menawarkan bantuan buku. Saya cuma mengiyakan. Hari ke tiga pun begitu.

Hari ke empat ini, lebih lumayan dari hari-hari sebelumnya. Ada dua orang bapak, yang satu datang membaca sembari menunggui istri dan anaknya yang sedang menghabiskan waktu sore di lapangan Pemda, dan satunya mampir membaca sejenak setelah menjemput anaknya yang berlatih Volley. Lalu ada seorang mbak yang mampir baca, dan setelah beberapa kali membolak-balik halaman beberapa buku, dia bilang: “Wah, berat-berat. Pusing mbak bacanya.” Mbak itu, juga menjanjikan akan memberikan buku untuk disumbangkan, saya juga mengiyakan tawarannya.

Sedikitnya orang-orang yang datang baca, malah makin menyemangati saya untuk terus melakukan kegiatan ini selama saya masih punya tenaga dan waktu yang cukup. Ala bisa karena biasa, bukan? Perpustakaan emperan ini, rencananya akan rutin saya dan Bang Andri buka di trotoar bunderan Tugu Adipura setiap hari. Mulai dari jam tiga sampai menjelang maghrib. Mudah-mudahan tetap bisa konsisten dan tetap punya kelebihan waktu dan tenaga. Tentu saja, karena ini masih kegiatan awal, mungkin ada beberapa hari perpustakaan tidak bisa buka.

Ke depannya, saya kepingin buat klub diskusi penulisan. Saya rencananya memeruntukkan klub ini buat kawan-kawan pelajar di Kalianda. Walau saya bukan penulis yang baik dan kesohor, siapa tahu dari kegiatan ini saya bisa bantu-bantu kawan-kawan pelajar yang punya bakat menulis buat mengembangkan kemampuannya. Dengan cara berdiskusi dan bertukar pengalaman tentu saja. Saat ini, saya masih menulis dan mengumpulkan bahan-bahan buat rencana saya ke depan itu. Yang entah, bisa terwujud atau tidak. Yang penting niat dulu sajalah, urusan terealisasi atau tidak, itu permasalahan ke sekian, bukan?

***

NB: Tulisan dan kegiatan saya ini, saya peruntukkan buat kawan-kawan KTN di Jogja. Mudah-mudahan kalian tetap tidak bosan berkomunitas, paling tidak untuk sekedar ngumpul dan berbagi cerita. Ayo!

2 komentar:

missy_butterfly mengatakan...

hloo rik sama... aq punya komunitas jg gerakan nya jg bkin perpustakaan emperan "ESOK" kapan2 lu mampir surabaya yak gw ajak ngemper bareng kita. kita udah hampir setahun bukaan

bambang mengatakan...

kegiatan yang positif kawan, pengen sekali2 buat ketemu sekalian sharing pengalaman

Posting Komentar