23 Mei 2009. Jl. Baung III RT. 04/ RW. 02 No.13, Kebagusan, Pasar Minggu. Jakarta Selatan. Rumah ini sangat sederhana. Di depan, ada taman kecil dengan beberapa jenis tanaman. Di teras, ditaruh meja kecil dan dua kursi.
“Akhirnya sampe juga kamu di sini,” kata Teteh sembari menyuruh saya masuk. Saya mengikuti Teteh ke dalam.
Ruang tamu difungsikan ganda. Ada alat untuk jogging. Rak di dinding, yang berisi banyak sekali piala. Dan sebuah meja. Di atasnya ada komputer yang sedang menyala. Seorang lelaki setengah baya sedang asik duduk di depannya.
“Ini Bapak,” kata Teteh. Saya langsung menyalami tangannya.
Di ruang tengah, ada televisi, kulkas, dan lemari yang penuh sesak dengan buku. Ruang tengah bersebelahan langsung dengan dua kamar tidur dan dapur. Saya duduk di atas karpet yang sudah digelar di ruang itu. Di atasnya, sudah ada lauk pauk dan nasi. Di dapur, ada suara orang sedang memasak.
Tak lama, datang seorang perempuan dari arah dapur. Badannya gemuk, wajahnya ramah.
“Ini Mamahku,” kata Teteh. “Ini lho mah, si badung yang sering kuceritain itu,” katanya lagi.
Perempuan itu langsung menyalami saya. Ia lalu bertanya tentang perjalanan saya. Setelah itu obrolan mengalir deras dari mulutnya. Tentang Teteh yang sering bercerita tentang saya. Keinginannya untuk bertemu dengan saya. Dan banyak lagi. Senyum seperti tak pernah lepas dari wajahnya. Saya senang melihat, dan mendengarnya berbicara. Bapak yang sedang asik bermain komputerpun menghentikan kegiatannya dan ikut pembicaraan kami. Seru.
“Udah, obrolannya dilanjut nanti aja,” kata Teteh. “Sekarang makan dulu,” kata Teteh lagi.
Ayam goreng, lalapan, dan salah satu lauk kesukaan saya: ikan asin. Kami makan dengan lahap.
***
Oktober 2008, saya pertama kali mengenal Ratu Gumelar. Saya biasa memanggilnya Teteh, panggilan khas orang Sunda. Maklum ia Sunda tulen. Ibunya, Popon Rukmini, asli Tasikmalaya. Sedangkan Bapaknya, M. Soleh, keturunan Banten dan Cianjur. Saya mengenalnya secara kebetulan, lewat seorang kawan kuliah. Namanya Didik Irawan.
Ceritanya, Didik pernah bekerja di Yayasan Pantau Jakarta. Sebuah organisasi wartawan yang bertujuan untuk memajukan jurnalisme di Indonesia melalui pelatihan-pelatihan menulis bagi jurnalis dan umum. Yayasan ini juga mengelola Mailing List (milis) Pantau Kontributor dan Pantau Komunitas. Selain itu, Pantau pun memiliki Website, pantau.or.id. Situs yang berfokus pada pemberitaan Aceh paska Tsunami. Agustus 2007- Agustus 2008, Didik bekerja sebagai Web Master, orang yang bertanggungjawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan Website milik Pantau itu.
Pada waktu bekerja di Yayasan Pantau inilah Didik mengenal Dyah Ayu Pratiwi. Dia biasa dipanggil Dayu. Saat itu, ia juga bekerja di Pantau sebagai Project Coordinator Kursus Jurnalisme Sastrawi. Salah program kursus yang rutin diadakan oleh Pantau. Dayu memang telah terbiasa dengan Jurnalisme semenjak kuliah. Ia pernah aktif di Teknokra, sebuah Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Lampung (UNILA), tempatnya dulu kuliah. Di Pantau, Didik dan Dayu menjadi teman akrab. Dayu biasa meledek Didik dengan memanggilnya “Om”. Dayu, adalah adik perempuan Teteh.
Pada bulan akhir tahun 2008 inilah, Teteh dan Dayu berlibur ke Yogyakarta. Didik yang menjemput mereka di stasiun dan mencarikan mereka hotel untuk menginap. Tapi pada hari ke dua mereka di Yogyakarta, Didik jatuh sakit. Sebetulnya saya tahu, Didik sudah merasa kondisi badannya tidak terlalu bagus sebelum Teteh dan Dayu datang ke Yogyakarta. Tapi saya juga tahu, kawan adalah segalanya bagi Didik. Lagipula, mereka sudah jauh-jauh datang dari Jakarta. Tidak mungkin untuk tidak memedulikan mereka.
Pada waktu Didik sakit, Teteh dan Dayu menjenguknya. Kebetulan jarak hotel dan kosan tempat Didik tinggal tidak seberapa jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kebetulan pula, saya sedang menginap di sana. Waktu itu saya sedang sibuk mengurus bab terakhir skripsi. Di kosan Didik ada sambungan internet. Jadi saya menumpang mengetik di sana. Lebih mudah ketika saya kekurangan data. Bisa langsung tersambung ke dunia maya. Namun karena Didik sedang istirahat, saya tidak mengetik di kamarnya. Tapi di kamar seorang kawan kuliah, namanya Nur Legawa. Ia ikut menjemput Teteh dan Dayu di stasiun. Dan ia juga kebetulan mengontrak kamar di kosan yang sama.
Saya mengetik sejak siang. Dan ketika hari mulai gelap, saya mematikan Laptop dan beranjak ke atas, ke kamar Didik. Saya ingin mengecek keadaannya. Ternyata sudah ada Teteh dan Dayu. Kamar Didik penuh makanan, dibawakan oleh mereka.
Saya sudah tahu Dayu. Meski tidak pernah berkenalan secara langsung. Dayu sering menelepon Didik, dan saya pernah bertemunya sekali di kantor Pantau. Di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kalau tidak salah bulan Februari 2008. Saya agak lupa. Saat itu saya sedang berada di Jakarta untuk mengurus sebuah keperluan. Saya menginap di kosan Didik. Di Jakarta, Didik tinggal berdua dengan Eko Rusdianto, seorang penulis asal Makassar, Sulawesi Selatan. Eko saat itu kontributor, menulis untuk Pantau. Ketika Didik sedang tidak ada di Jakarta, mengurus peluncuran website Pantau di Aceh, saya jadi lebih akrab dengan Eko. Suatu hari dia mengajak saya ke kantor Pantau. “Daripada kau ga ada kerjaan di kosan,” kata Eko waktu itu. Di kantor Pantau, Eko menunjukkan Dayu kepada saya. “Itu yang namanya Dayu,” ujar Eko sembari mengacungkan jarinya ke arah perempuan berkulit coklat yang sedang sibuk mengetik di meja kerjanya. Ia memakai kacamata dan jilbab. Tapi saat itu, saya tidak menegurnya.
Di kosan Didik, saya berkenalan formal dengan Dayu. Dia bilang, dia juga sudah tahu saya. “Kamu ikut kursus narasi yang di Yogyakarta ya?” Tanya Dayu. Saya mengiyakan. 21 Juni- 13 Juli 2008, Pantau mengadakan kursus menulis Narasi di Yogyakarta. Pengajarnya Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Keduanya jurnalis, bekerja untuk Pantau. Serta Anugerah Perkasa, Jurnalis, bekerja di Bisnis Indonesia, Jakarta. Saya ikut ambil bagian di kursus itu.
Lalu saya juga berkenalan dengan Teteh. Wajahnya bulat, matanya bundar, tubuhnya agak gemuk, serta memakai kacamata dan jilbab. Kesan saya ketika pertama kali bertemu dengannya, dia menyenangkan. Senyuman seperti tak pernah lepas dari bibirnya. Tapi saya tetap agak canggung, maklum orangnya terlihat dewasa. Tapi ketika saya melihat celana Jeans yang dia pakai berlubang, saya beranikan diri untuk membalas candaan-candaannya. Ternyata dia lebih menyenangkan dari yang saya pikirkan. Obrolan-obrolan mengalir deras antara kami berempat. Di luar kamar, hujan tak berhenti mengguyur sedari sore.
Saat sedang tak ada obrolan, Didik bilang ke Teteh kalau saya punya blog puisi. “Oh ya? Wah, pujangga rupanya” kata Teteh. Rupanya Teteh juga jago membuat puisi. Teteh minta diperlihatkan blog kepunyaan saya. Sayapun menunjukkannya. Dia lalu membaca beberapa tulisan. “Bagus,” kata Teteh setiap selesai membaca tulisan. Saya hanya tersenyum, sok acuh. Yang lucu, dia kemudian beranjak dari depan layar komputer dan menyidekapkan tangannya di depan dada. Dia membaca puisi saya sembari menirukan mimik muka anak kecil. Kakinya ia maju mundurkan. Kami bertiga terbahak-bahak melihat kelakuannya. Saya, tertawa sambil malu karena dibegitukan. “Ada-ada aja,” pikir saya.
Selepas Adzan Isya, hujan telah berhenti. Perut saya lapar minta diisi. Sayapun izin keluar untuk cari makan. Rupanya Teteh dan Dayu juga merasa lapar. “Bareng aja, kami sekalian pulang,” kata Teteh. “Ya udah,” kata saya. Kami bertigapun ke luar mencari makan. Didik sudah makan bubur instan yang mereka bawakan.
Kami memilih untuk makan di sebuah warung Mie dan Nasi Goreng Magelang pinggir jalan. Tidak jauh dari kosan Didik. Di sana, kami melanjutkan obrolan. Saya menceritakan tentang skripsi saya yang hampir selesai, dan rencana saya untuk ke Jakarta segera setelah tulisan selesai. Saya menulis tentang Marjinal, sebuah Band Punk yang bermarkas di Jl. Moch Kafi, Srengseng Sawah, Setiabudi, Jakarta Selatan.
“
Wah kebetulan, rumah kami juga di Jakarta Selatan,” kata Teteh.
“Jangan lupa mampir ke rumah kalau jadi ke Jakarta,” katanya lagi. Saya mengiyakan.
Makanan habis. Saya segera beranjak hendak membayar. Tapi Teteh tidak membolehkan. Dia yang membayar semua. Setelah itu kami sama-sama beranjak pulang. Mereka ke hotel, dan saya kembali ke kosan Didik.
Pertemuan saya secara langsung dengan Teteh memang sangat singkat. Tapi setelah itu saya dan Teteh tetap berkomunikasi. Pulang ke Jakarta, Teteh dan Dayu membuat blog mereka sendiri. Kamipun saling menautkan alamat blog kami di blog masing-masing. Setelah itu, Teteh meminta alamat Yahoo Messenger (YM) dan Facebook saya. Keduanya layanan internet yang memungkinkan penggunanya untuk berkomunikasi langsung, ngobrol lewat dunia maya.
Semenjak itu, kami makin intens berkomunikasi. Berdiskusi tentang banyak hal, mengomentari tulisan masing-masing, atau sekedar saling menyapa ketika saya dan Teteh kebetulan sama-sama online. Terlebih, ketika saya dan Teteh kemudian bertukar nomor telepon genggam. Dia sering menelepon saya. Mengocehi saya agar semangat menyelesaikan skripsi, atau sekadar menanyakan kabar. Perlahan, saya mulai menganggap dia Kakak, dan dia menganggap saya Adik.
Kadang saya berpikir, kemajuan teknologi komunikasi menjadi salah satu penyebab rusaknya hubungan sosial. Dulu kita harus bertatap muka, bertemu langsung dengan keluarga, sahabat, pacar, atau siapa saja. Saling bertandang ke rumah masing-masing untuk mengobati rasa rindu ketika sudah lama tidak berjumpa. Semenjak telepon genggam merebak, lalu muncul koneksi internet, kebiasaan mengunjungi rumah masing-masing berkurang, bahkan menghilang. Kita sudah merasa cukup hanya dengan menyapa atau bertanya kabar lewat pesan singkat di telepon genggam atau surat elektronik. Tapi, tanpa teknologi komunikasi yang terus berkembang itu, saya dan Teteh mungkin tidak akan seakrab sekarang.
Akhir Desember, skripsi yang saya kerjakan selesai. Sayapun mendaftar untuk mengikuti ujian. 9 Januari 2009, saya mengikuti ujian skripsi. Puji Tuhan, saya bisa menjalaninya dengan lancar. Saya mendapat nilai A. Sepulang ujian, telepon genggam saya berbunyi. Rupanya Teteh, menelepon menanyakan hasil ujian. Dia orang pertama yang menyelamati saya.
***
Setelah makan, kami pindah ke teras. Teteh membuatkan saya kopi. Dari teras saya memerhatikan piala yang berjejer rapi di rak di dinding ruang tamu.
“Itu piala lomba puisi,” kata Teteh.
“Aku ga seperti kamu, berpuisi karena memang suka sastra,” katanya. “Aku ikut lomba puisi buat bantu-bantu uang makan sekeluarga,” kata Teteh lagi.
Teteh bercerita, ia dan keluarganya sudah biasa susah semenjak ia kecil.
“Makan sama garam dan terasi doang sih udah biasa,” katanya.
“Kita bahkan pernah makan biji karet saking ga ada makanan,” kata Teteh lagi.
Untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, Mamah biasa menjahitkan pakaian pesanan orang dengan mesin jahit yang diberi oleh saudaranya. Dan Bapak, menjadi seorang penulis naskah kecil untuk drama televisi. Dan Bapak hanya menulis jika mendapat pesanan. Sebenarnya, ia adalah seorang penulis yang lumayan.
“Bapak dulu orang teater,” kata Teteh.
“Tapi sayang, Bapak ngambil jalur kepenulisan belakang layar,” kata Teteh lagi.
Naskah yang dibuat Bapak banyak yang digunakan oleh orang lain. Bapak hanya menuliskan, lalu diganti namanya. Tapi Bapak hanya menerima saja. Maklum, ia butuh uangnya untuk penghidupan keluarganya. Penghasilan Mamah dari menjahit dan Bapak yang bekerja serabutan sembari menulis, tentu saja tak mencukupi.
Tapi keadaan ekonomi keluarga tidak membuat Teteh serta abang dan adiknya tidak kecil hati. Mereka malah merasa beruntung memiliki orangtua yang selalu memberi pengertian kepada mereka tentang keadaan keluarga. Punya Bapak yang tegas dan Mamah yang bijaksana. Mamah, sering menasehati mereka mengenai ketegaran hidup lewat dongeng-dongeng pengantar tidur.
Sosok Bapak dan Mamah, seta keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat mereka menjadi pribadi yang tidak banyak menuntut. Bahkan masing-masing dari mereka berusaha keras untuk membantu menambah penghasilan keluarga.
Aa’ misalnya, kerap menawarkan jasa ojek payung ketika tiba musim hujan. Berjualan es, bahkan meminta amal. Keliling dari masjid ke masjid. Ketika ada acara di Pasar Festival (saat itu Gelanggang Mahasiswa), Aa’ sering datang untuk mengumpulkan makanan-makanan sisa konsumsi. Aa’ yang dimaksud Teteh adalah Wisynu, abangnya.
Untuk membantu ekonomi keluarga pula, Teteh mengikuti berbagai lomba puisi. Ia masih duduk di kelas tiga Sekolah dasar ketika pertama kali mengikuti lomba puisi. Waktu itu Masjid Istiqlal mengadakan lomba puisi. Iseng saja, ia ikut lomba itu. Ternyata ia menang, juara satu! Hadiahnya, piala bergilir dari Menteri Agama. Semenjak itu, Teteh akhirnya rajin ikut lomba puisi.
Ketika ia duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP), Radio Republik Indonesia (RRI) mengadakan lomba puisi. Ia mengikutinya, dan kembali menjadi juara. Teteh kaget, selain mendapat piala, ia mendapat uang dua ratus lima puluh ribu dan sebuah Radio bermerek Sony.
“Buat kita yang kekurangan, wah, ini luarbiasa!” Kenang Teteh. Uang hasil lomba puisi, ia pergunakan untuk membayar SPP sekolah.
Semenjak Teteh menang di lomba puisi RRI dan sadar bisa mendapatkan uang, ia mulai “berburu” lomba puisi. Berbagai lomba ia ikuti. Di Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Mahasiswa, Museum Juang, Museum Sumpah Pemuda, dan banyak lagi. Yang terbesar, ia pernah mendapatkan uang satu setengah juta rupiah dari lomba yang diadakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ketika memeringati hari lahir Soekarno.
“Uang hadiahnya sih ga jauh-jauh larinya. Buat bayar kontrakan rumah, SPP, sama biaya sehari-hari
kami,” kata Teteh.
“Dayu mulai ikut lomba puisi juga pas dia kelas 2 SMP, dan sering menang juga. Jadi, lumayanlah” kata Teteh.
“Pokoknya bukan karena melek sastra karena kamu,” kata Teteh lagi.
Saya tersenyum mendengar cerita Teteh. Lalu melihat lagi piala-piala yang tersusun rapi di atas rak di dinding ruang tamu.
***
Teteh lahir 29 tahun yang lalu. Tepatnya Empat Februari 1980. Di Kampung Pedurenan Haji Cokong, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Kampung ini menyimpan kenangan yang mendalam bagi Teteh. Di kampung inilah ia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya.
“Waktu itu belum masuk listrik. Jadi penerangan masih ngandelin petromak atau lampu tempel, jadinya gelep kalo malem,” Teteh bercerita.
Di Kampung Pedurenan ini, Teteh dan keluarganya pindah-pindah rumah kontrakan.
“Ada mungkin enam kali pindah,” kata Teteh.
Mereka pindah dari rumah ke rumah dengan tipikal sama. Teteh menyebutnya rumah 3 petak: ruang tamu, ruang tengah, dan dapur. Lalu satu atau dua kamar tidur. Jika beruntung, ia dan keluarganya mendapat rumah dengan kamar mandi di dalam. Jika tidak, terpaksa memakai kamar mandi di luar. Berbarengan dengan tetangga-tetangga sekitar rumah.
“Yang aku inget, kita sekeluarga pernah ngontrak di rumahnya Pak Sanusi, orang Betawi,” katanya lagi.
Perkampungan Pedurenan pada tahun 1980an memang masih menjadi salah daerah tempat tinggal keluarga-keluarga Betawi asli yang memiliki tanah berhektar-hektar. Warisan keluarga turun temurun. Kawan kuliah saya di Yogyakarta, namanya Risman Fardela, ia keturunan Betawi asli, tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur pernah bilang kepada saya. “Dulu saking luasnya, kadang-kadang mereka sampai lupa di mana batas tanah yang mereka miliki,” kata Risman.
Pada waktu kecil, Teteh ingat di sekitar kampung Pedurenan masih banyak perkebunan kelapa yang luas dan kolam-kolam ikan milik orang-orang Betawi.
“Ada yang punya Haji Maman, Babe Husin, dan lainnya,” ujar Teteh.
Dulu, kampung padat perumahan tempat Teteh tinggal itu kerap dipusingkan dengan datangnya banjir saat tiba musim penghujan. Pernah hujan yang menyebabkan banjir itu datang ketika malam hari saat ia dan keluarganya sedang terlelap.
“Aa’ sama Mamah yang tidur di kasur yang digelar kebangun karena udah kerendam air,” kata Teteh sambil tertawa.
Tapi musibah rutin yang menimpa kampung Pedurenan itu kadang menjadi hiburan bagi Teteh dan teman sebayanya.
“Kalo banjir, bisa ujan-ujanan trus renang-renangan sama temen-temen,” kata Teteh mengingat kembali masa kecilnya.
Teteh bercerita banyak sekali mengenai kenangan-kenangannya di Kampung ini.
“Pokoknya seru kalo nginget masa kecil dengan temen-temen di Pedurenan,” kata Teteh lagi.
Tapi, Kampung Betawi yang ketika Teteh kecil masih berupa perkebunan dan kolam-kolam serta gelap gulita saat malam hari tiba itu kini tinggal cerita. Seiring waktu, pembangunan mulai merambah daerah itu, sampai sekarang menjadi segitiga emas Kuningan. Pusat bisnis dan pemerintahan. Gedung-gedung pemerintahan, perkantoran, apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan mewah berjamuran. Menggusur tanah-tanah perkebunan, kolam-kolam, hingga perumahan milik penduduk. “Tuan-tuan tanah” Betawi terpaksa harus minggir, menjual tanah milik mereka dengan harga murah kepada para spekulan dan calo tanah. Pindah ke daerah-daerah pinggiran Jakarta, bahkan sampai ke daerah Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Waktu saya mencari data di Internet tentang Kampung Pedurenan, saya beruntung menemukan tulisan berjudul “Dua Lelaki Terbelit Kenangan” di webblog “pukultigadinihari”. Tulisan itu menceritakan kisah Abdul Rahman, yang biasa dipanggil Maman. Warga asli Betawi asal Kampung Pedurenan. Ternyata dia adalah Haji Maman. Salah satu orang Betawi yang diceritakan oleh Teteh memiliki kolam ikan hias kala ia kecil. Tahun 1990, Maman terpaksa harus melego tanah keluarganya dengan harga tiga ratus ribu per meternya. Setelah menjual tanah, ia terpaksa berpindah-pindah, ke daerah Condet, Depok, Pasar Minggu, hingga ke Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Usaha kolam yang dirintisnya pun ambruk.
Maman, menurut tulisan itu kini menjadi pengurus Masjid Al Awwabin, di RT 15, RW 10, Pedurenan Haji Cokong, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia kembali ke kampung itu setelah berkali-kali pindah karena kerap memimpikan kenangan di tanah tempat ia lahir dan besar itu.
Ketika saya menunjukkan tulisan tentang Haji Maman kepada Teteh, dia seakan tak percaya.
“Wah, Masjid Al Awwabin ya? Aku pernah tinggal di belakang masjid itu lho,” kata Teteh ketika selesai membaca tulisan itu. Ia tak menyangka, banyak perubahan yang terjadi pada kampung dan orang-orang di kampung tempat ia lahir dan dibesarkan itu.
“Yang jelas, aku nyaksiin mulai daerah itu jarang penduduk karena mulanya kebon kelapa, terus berdesak-desakan, sampe jarang lagi karena digusur, dan sekarang udah jadi Rasuna Episentrum,” ujar Teteh.
Rasuna Episentrum yang dimaksud Teteh adalah sebuah “megasuperblok” terpadu. Kompleks apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan di segitiga emas Kuningan. Kompleks terpadu ini dimiliki oleh PT Bakrieland Development. Salah satu dari banyak perusahaan milik Kelompok Usaha Bakrie, dinasti bisnis keluarga Bakrie yang saat ini dikomandani oleh Aburizal Bakrie. Sekarang ia menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat di Kabinet Pembangunan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada awal pembangunannya, kompleks ini bernilai lebih dari Rp. 3,5 triliun. Megasuperblok ini berdiri di atas tanah seluas lebih dari 50 hektar. Di situsnya, Rasuna Episentrum menyebut dirinya “A city within a City”, kota di dalam Kota! Mungkin karena luasnya.
Melihat nasib warga keturunan Betawi yang tergusur seperti Maman, saya teringat nasib banyak penduduk di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Yang juga seperti mereka, kehilangan rumah dan tanahnya karena obsesi “pembangunan”.
Sejak 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur di desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, dari sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas. Salah satu perusahaan yang ditunjuk oleh BP MIGAS, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi untuk melakukan pengeboran minyak dan gas di sana. Akibat semburan lumpur yang tak henti itu, puluhan pabrik, ratusan hektar sawah serta tak terhitung pemukiman penduduk, tenggelam di dasar lumpur.
Sampai saat tulisan ini dibuat, mereka masih hidup terlunta-lunta di penampungan sembari mengingat sesekali rumah dan tanah mereka yang kini terkubur lumpur. Dan saya ingat, PT. Lapindo Brantas, perusahaan tambang yang teledor itu, yang mengusir penduduk Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu dari rumah, tanah, serta kenangan mereka, juga adalah anak perusahaan milik keluarga Bakrie.
***
Kopi tinggal setengah. Di teras rumah, Teteh lalu menceritakan tentang kedua saudaranya. Aa’ Wisynu dan Dayu.
Teteh ingat, Aa’nya dulu adalah pribadi yang keras. Ia telah menjadi pentolan tawuran semenjak SMP. Menurut Teteh, mungkin karena Aa’ terinspirasi dengan cerita-cerita Bapak. Sebelum menulis, M. Soleh, Bapak Teteh adalah seorang jawara. Preman di Pasar Mencos, Setiabudi, Jakarta Selatan. Bapak memang mewarisi kemampuan pamannya, jawara silat di Bogor.
Teteh juga ingat, dulu ia kerap diajak Bapak ke Pasar Mencos, memalak orang-orang yang menang judi.
“Aku sampai bisa main kartu karena keseringan liat orang judi,” kata Teteh.
Setiap menjelang lebaran, Teteh juga ingat ia kerap diajak Bapaknya pergi ke Pasar Mencos. Pernah, katanya, ia ikut Bapak pergi ke Pasar Mencos ketika hari raya sudah dekat. Di kantong Bapak, cuma ada uang dua ribu lima ratus rupiah. Pulangnya, mereka bisa membawa kulit ketupat, beras, lauk, saus, dan kebutuhan lebaran lainnya. Uang di kantong Bapak bertambah menjadi empat ribu rupiah. Teteh
bercerita sembari tertawa. Kebiasaan Bapaknya memalak ini berlangsung hingga Teteh SMP.
“Waktu aku SMU sih kayaknya ga pernah lagi,” kata Teteh.
“Malu juga sih kalo inget, tapi mau gimana lagi,” kata Teteh lagi.
Tapi paling tidak, Teteh, Aa’, serta Dayu bisa belajar keberanian dari sosok Bapaknya. Walaupun perempuan, Teteh dan adiknya, Dayu, terbiasa pergi ke mana-mana sendirian.
Di ruang tengah sebelum kami makan, Bapak bilang ke saya, “Tiap orang sebenarnya punya rasa takut, tapi bagaimana caranya kita mengurangi rasa takut di diri kita, dan memperbesar rasa takut orang yang kita lawan,” kata Bapak.
Sifat Aa’ yang keras, menurut Teteh berkurang ketika ia telah menamatkan kuliahnya di STMIK Jayakarta. Setelah kuliah, Aa’ lama tidak mendapatkan pekerjaan. Ia sampai putus asa. Sambil menangis, ia bilang ke Teteh bahwa ia menyerahkan nasib keluarga sepenuhnya ke Teteh.
“Soalnya gua kayaknya ga bisa,” ujar Aa’ kepada Teteh waktu itu sembari meneteskan air mata.
Untuk membuat Aa’nya lebih baik dan kembali semangat, Teteh membuatkan sebuah puisi.
Kita Masih Punya, Kita Masih Bisa
Lantas kenapa kalau ternyata kita bukan sang elang,
hanya seekor camar?
Kita masih bisa terbangkan sayap keliling dunia
dan jelajahi samudera, langit biru
membentang luas.
Lantas kenapa kalau ternyata kita bukan sang matahari,
hanya sebuah mercu suar?
Kita masih bisa berbagi terang
dan berikan arah
bagi kapal-kapal terjebak badai.
Lantas kenapa kalau ternyata kita bukan sang harimau,
hanya seekor kijang?
Kita masih bisa berlari menembus hutan
dan nikmati hijaunya dedaunan.
Lantas kenapa kalau ternyata kita bukan batu karang,
hanya sebuah batu kali?
Kita masih bisa jadi pondasi
bagi bangunan bangunan raksasa pencakar langit.
Lantas kenapa kalau kita hanya seorang manusia,
Kita masih punya Yang Maha,
Sang pemilik segala
yang akan selalu ada.
Puisi ini membuat Aa’ sedikit lebih baik. Aa’ sadar, tak ada guna menyerah melawan kehidupan. Aa’ kembali bangkit, bekerja berpindah-pindah. Menjadi sales asuransi, membuat jasa undangan pernikahan, dan sebagainya. “Tapi tetap aja Aa’ jatuh bangun,” kata Teteh.
Akhirnya Aa’ bertemu dengan seorang perempuan, Shelvy Gandara Putri. Dia yang menemani Aa’ dan menyemangatinya tiap kali Aa’ gagal menjalankan usaha yang ia rintis. Tahun 2007, Aa’ menikahi perempuan ini.
Teteh lalu memerlihatkan sebuah album foto kepada saya.
“Ini foto pernikahan Aa’,” ujar Teteh sembari membuka halaman demi halaman album foto itu.
Sebuah pernikahan yang sangat sederhana. Tidak ada pelaminan, kursi duduk buat undangan, terlebih hiburan seperti layaknya pesta pernikahan. Di foto itu, terlihat orang-orang yang sedang makan beralaskan tikar. Beberapa bahkan hanya jongkok di jalan di depan rumah. Tapi Aa’ dan perempuan yang akan dinikahinya terlihat bebahagia. Mata mereka bersinar.
Teteh mengaku sedih jika ingat momen itu. Menyesal tidak bisa memberikan yang lebih baik untuk abang satu-satunya yang sangat ia sayang itu.
“Perjalanan hidup Dayupun ga kalah sedihnya,” ujar Teteh kemudian.
Lulus SMU tahun 2000, Dayu merantau ke Lampung. Ia diterima di Universitas Lampung. Jurusan Manajemen Kehutanan. Ia berangkat dengan tabungan sendiri. Teteh sekeluarga dengan berat hati melepas kepergiannya.
Di Lampung, Dayu hidup dengan kiriman yang tak layak. Seperti Teteh, Dayu harus sering mengirit agar kirimannya bisa bertahan sampai akhir bulan. Mengirit, bagi Teteh dan Dayu berarti berpuasa. Atau hanya memakan gorengan untuk mengisi perut. Dayu sering sekali harus menahan lapar tiap hari. Di Lampung, Dayu bahkan pernah terserang Demam Berdarah dan Malaria. Semua harus ia hadapi sendiri. Jarak dan biaya membuat keluarganya tak bisa berkunjung. Merawatnya, atau sekedar menengok keadaannya.
“Untung dia bisa sampe lulus,” ujar Teteh. Matanya berkaca-kaca.
Sembari mendengar cerita Teteh, saya ingat ketika saya kuliah. Meski sebenarnya uang yang dikirimkan oleh orangtua saya perbulan lebih dari cukup, saya kerap merasa kurang dan selalu meminta uang tambahan lebih. Membandingkan kisah saya dan kisah mereka, saya jadi malu sendiri.
Setelah bercerita, Teteh mengambil beberapa buku harian Dayu ketika ia kuliah di Lampung dan menunjukkannya kepada saya. Hati saya tergetar membacanya.
***
Tahun 1998, Teteh diterima di Institut Pertanian Bogor. Di jurusan Sosial Ekonomi Agribisnis. Seperti Dayu dan Aa’nya, kehidupan Teteh juga tak jauh beda.
Di Bogor, tempat tinggal barunya itu jarang sekali lomba puisi. Artinya, tak ada lagi duit tambahan.Tentu saja ia harus memutar otak untuk bisa bertahan hidup. Kemudian ia ingat makanan yang menjadi favorit kawan-kawannya di SMU. Pisang Coklat (piscok). Tetehpun memutuskan untuk mencoba menjual piscok. Resep piscokpun ia cari. Uang Rp. 10.000,- yang diberi Mamahnya untuk ongkos dan hidup di Bogor akhirnya ia putar untuk membeli bahan untuk membuat Pisang Coklat. Tentu saja awalnya ia harus berpuasa karena uangnya untuk makan habis ia belikan bahan.
“Aku biasanya beli bahan-bahannya di Pasar Bogor, jalan kaki dari kos, pagi atau siang sepulang kuliah,” cerita Teteh.
Tiap hari, ia bangun pukul setengah lima. Memasak piscok untuk kemudian dijual siangnya. Siapa sangka, ternyata dagangannya laris. Hasil penjualannya benar-benar berguna buat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
“Kalo pulang ke Jakarta, aku bisa ngasih mamaku Rp. 20.000,” kata Teteh.
Tapi nasib baik tak selalu berpihak. Karena kesibukannya menjual piscok ini, ia kelelahan dan terserang TBC. Ia beruntung, saat itu ada program peberantasan TBC dari pemerintah. Karenanya ia tak perlu membuat orangtuanya pusing untuk lebih bekerjakeras, mencari uang untuk membeli obat. Enam bulan ia harus menjalani pengobatan karena penyakitnya ini.
Karena penyakitnya ini, tentu saja ia tak bisa lagi bangun saban pagi untuk membuat piscok.
“Alhamdulillah, selalu ada pintu lain yang dibukakan oleh Tuhan,” kata Teteh.
Di kota hujan ini, ia mendapatkan sesuatu yang kelak mengubah hidupnya, beasiswa.
International Community Activity Center, sekarang Yayasan Goodwill memilihnya sebagai penerima beasiswa. Ia mendapatkan Rp. 225.000,- per bulannya. Ini tentu saja cukup membantu meringankan beban keluarga. Uang yang ia terima, ia bagi dua. Rp. 100.000,- untuk menambah kiriman Dayu per bulan, dan Rp.125.000,- untuk keperluan rumah.
Tahun 2000, Yayasan yang mensponsori beasiswa Teteh mengirim Teteh ke Amerika. Homestay selama seminggu di Georgia. Pengalaman luarbiasa, bahkan tak pernah terbayangkan sekalipun olehnya.
“Aku bener-bener dapet pertolongan dari Allah,” ujar Teteh.
Dalam hati, saya mengiyakan.
***
Kopi di gelas sudah habis saya tenggak. Setelah selesai bercerita, Teteh lalu mandi. Hari sudah agak sore. Rencananya hari ini, ia dan Bapak akan pergi ke Sukabumi. Menumpang mobil saudaranya. Karena ada beberapa barang yang dibawa, mobil penuh. Hanya Bapak yang berangkat lebih dulu. Teteh kemudian berencana menyusul saja, naik angkutan.
“Ga apa, kan mau nganter kamu naik bis juga,” kata Teteh.
Saya, bermaksud ingin ke Jl. Moch. Kahfi, Srengseng Sawah, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ke markas Marjinal Band, Komunitas Sapi Betina. Band Punk asal Jakarta Selatan yang lagu-lagunya saya bahas dalam skripsi. September 2007, ketika saya selesai live in di komunitas mereka, saya berjanji akan berkunjung lagi suatu saat. Memberikan tulisan saya jika sudah selesai.
Ketika Teteh di kamar mandi, saya ditemani Mamah. Kami lalu berbincang. Mamah beberapa kali mengatakan, merasa bersyukur mendapatkan anak-anak seperti Aa’, Teteh, dan Dayu.
“Ga nyangka mereka udah pada lulus kuliah semua,” kata Mamah.
Anak-anaknya sekarang memang telah menjadi orang yang bisa ia banggakan. Semuanya telah selesai kuliah. Dan, telah bisa menghidupi diri sendiri.
Aa’, tahun 2006, setelah beberapa kali gagal menjalankan usaha, mencoba untuk menjual piscok di Sukabumi. Makanan yang pernah membantu Teteh untuk menyambung hidup ketika kuliah. Resep yang diberikan oleh Teteh, ia modifikasi. Lalu ia mencoba menjual resep piscok hasil eksperimennya itu. awalnya, dari sekolah ke sekolah. Ternyata banyak yang suka.
Tapi berjualan dari sekolah ke sekolah beresiko tinggi ke usaha yang dirintisnya. Terutama jika libur. Tidak ada pesanan. Ia akhirnya memutuskan untuk membeli gerobak agar tidak hanya mengandalkan pesanan dari sekolah. Gerobak ini cukup membantu usahanya. Dan, ternyata bisnisnya maju. Perlahan, ia memunyai pelanggan tetap yang bertambah hari ke hari.
Sekarang, Aa’ telah memiliki dua gerai. Di Jalan Arif Rahman Hakim, dan di daerah Cisaat, Sukabumi. Ia telah memiliki sekitar 18 pekerja. Cakra Buwana Silihwawangi, nama gerai piscoknya, sudah akrab di telinga orang-orang Sukabumi.
Dayu, setelah tidak lagi bekerja di Pantau, bekerja sebagai Freelance Transcipter untuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pula, ia telah memiliki lahan sekitar 5 Hektar di Lampung. Rencananya, akan ia tanami pohon Sengon.
Dan Teteh, kini bekerja sebagai Research Manager di PT Acorn Konsultan. Sebuah perusahaan penelitian pemasaran di Jakarta.
Desember 2002, tiga bulan setelah lulus, Teteh mendapat panggilan dari kantor Goodwill, Yayasan yang pernah memberinya beasiswa saat ia kuliah. Orang yang pernah menjadi sponsornya, bekerja di sana. Waktu itu, ia datang dengan pakaian seadanya. Ia tidak mengira, ternayata itu panggilan wawancara untuk bekerja.Hari itu juga, Teteh menandatangani kontrak untuk mulai bekerja bulan Januari 2003 di Acorn Konsultan.
Di teras, Mamah bilang kepada saya. Teteh dan Aa’ pernah membincangkan untuk pindah ke rumah yang lebih layak. Tapi Mamah menolak.
“Masih ada Dayu yang belum diselamatkan,” kata Mamah saat itu. Mamah lebih suka uang untuk menyicil rumah digunakan untuk “menyelamatkan” Dayu. Tanah yang dibeli Dayu di Lampung, adalah hasil sumbangan mereka bersama.
“Mamah ga pernah nyeselin keadaan Mamah, kalo Mamah inget mereka,” ujar Mamah. Matanya sedikit basah. Saya terharu mendengarnya.
Setelah Teteh selesai mandi, saya pun bersiap hendak ke Srengseng Sawah, Setia Budi, Jakarta Selatan. Ketika Teteh sudah siap mengantar, saya pamit kepada Mamah. Saya dan Teteh pun berjalan menuju Stasiun Tanjung Barat untuk menunggu bis.
Ketika kami telah sampai di ujung gang, Teteh menengok ke belakang.
“Coba lihat ke belakang deh,” kata Teteh.
Ketika saya menoleh ke belakang, saya lihat Mamah sedang melambai kepada kami dan mengecup kedua tangannya sembari seakan melempar kecupan di tangannya kepada kami. Dia sedang mengirimkan kecupan kasih sayangnya, doanya. Kamipun membalasnya.
“Mamah selalu begitu dari kami kecil tiap kali anaknya mau pergi,” kata Teteh.
Ah, saya langsung teringat Ibu saya di Lampung.
***
What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Tryin' to make his way home?
Di atas, adalah petikan lagu Joan Osborne, penyanyi perempuan asal Amerika. Judulnya “One Of Us”. Lagu itu terdapat dalam album Relish yang ia keluarkan tahun 1995.
Jika dicerna mentah-mentah, tentu saja lirik lagu itu membuat beberapa dari kita akan marah. Betapa tidak, Osborne memertanyakan sesuatu yang menggelitik. Bagaimana jika Tuhan adalah salah seorang dari kita? Hanya seorang asing di dalam bus yang sedang dalam perjalanan pulang? Pernyataan sekaligus pertanyaannya dalam lagu itu sungguh mengusik kuping.
Tapi saya suka lagu itu. Karena menyimpan pesan yang amat mendalam. Paling tidak bagi saya.
Osborne, ingin mengatakan bahwa “Tuhan” ada di sekitar kita, selalu mengiringi kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Lebih jauh lagu tersebut ingin mengatakan bahwa tak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini. Semua kejadian, keberuntungan atau kesialan yang kadang melekat di keseharian, selalu mengandung pesan.
Apa yang dialami oleh Teteh dalam cerita mengenai keluarganya. Kesialan-kesialan, kesusahan-kesusahan, lalu keberuntungan-keberuntungan dan kebahagiaan-kebahagiaan yang mereka alami, saya kira merupakan refleksi hadirnya “Tuhan” dalam kehidupan mereka. Teteh dan keluarganya telah berhasil menghayati “pesan” yang ingin disampaikan oleh Tuhan dalam setiap kejadian dalam tiap detik kehidupan mereka.
Perjumpaan pun demikian. Tak ada yang benar-benar kebetulan. Dan tiap pertemuan, selalu membawa pesan bagi kita untuk lebih menghayati “Tuhan”.
Perjumpaan saya dengan Teteh yang terlihat sangat kebetulan pun saya rasa mengandung pesan yang sangat dalam bagi saya. Teteh, dan ceritanya membuat saya lebih menghargai yang saya punya. Membuat saya lebih menghayati setiap detik kehadiran saya di dunia, beserta pengalaman yang menyertainya tentunya.
“Jangan-jangan Tuhan dalam lagu Joan Osborne adalah Teteh?” Saya bertanya genit dalam hati.
Kini, saya dan Teteh masih terus berhubungan. Ia kerap memberikan petuah-petuahnya ketika saya sedang bermasalah. Selain saya, Teteh juga memiliki dua orang. Yang walau hanya dijumpainya sekali, telah ia anggap adik. Dan seperti saya, mereka juga menganggap Teteh sebagai kakak.
Yang pertama Nur Legawa, kawan kuliah saya yang pernah menjemput Teteh di Stasiun bersama Didik. “Buku nasehat kehidupan yang paling emoh aku bacapun kayanya bakal aku beli kalo Teteh yang nulis,” kata Nur Legawa ketika saya menanyakan kesannya akan Teteh.
“Teteh pintar ngasih nasehat yang bikin aku semangat,” katanya lagi.
Adik angkat Teteh yang satunya lagi, adalah Eko Rusdianto. Penulis asal Makassar yang pernah bekerja bersama Didik dan Dayu di Pantau. Teteh bertemu dengan Eko sekali di Makassar, ketika ia sedang ada tugas ke luar kota dari kantornya. Mereka juga tetap saling menyapa. Berhubungan walau dipisahkan waktu dan jarak.
Kami, kini seperti sebuah keluarga besar, yang saling mendukung satu sama lain.
Ah, saya makin merasa bahwa hidup ini benar-benar dipenuhi kebetulan yang menyimpan pesan, jika kita menghayatinya.
***
Lampung, Juli 2009.
Selasa, Oktober 13, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
matnab bro ceritanya.. jadi malu gua smaa diri sendiri, salam buat teteh -dari peganja yang ga pernah bersyukur.
Posting Komentar