Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Jumat, Mei 08, 2009

Taman

Semenjak kematian Ayah, Ibu kerap tercenung memandangi tanah yang berceruk di muka rumah. Tiga bulan lalu, sebelum kematiannya, ayah berencana membuat taman kecil untuk memerindah rumah kami yang sederhana. “Rumah kita terlalu tandus,” kata ayah suatu ketika, mengutarakan keinginannya kepada ibu saat kami sedang makan malam. Ibu mengiyakan saja sambil terus melahap makanannya. Aku tahu ibu tak begitu menyukai bunga. Setahuku ayahpun tidak. Mungkin, bagi ibu ucapan ayah malam itu tak lebih dari rencana kosong belaka sehingga ia tak terlalu menggubrisnya.

Tapi ternyata ayah tak main-main.

Esok hari, ayah benar-benar mulai mengerjakan taman yang ia bicarakan. Yang pertama ia kerjakan adalah menggali sebuah lubang persegi panjang. Rencananya akan ia jadikan kolam ikan kecil untuk melengkapi taman yang akan ia buat. Gaya minimalis katanya. “Taman ini akan menyemarakkan rumah kita nak,” ujarnya ketika aku memerhatikannya mengerjakan lubang bakal kolam itu. Aku mengangguk menyemangati. Namun ketika lubang itu hampir selesai ia kerjakan, ajal menjemputnya.

Kini lubang itu lebih mirip sebuah kuburan.

***

“Kita akan menyelesaikannya nak,” ucap ibuku pelan pada sebuah malam yang dingin, ketika aku memergokinya kembali termangu memandang cerukan itu.

“Menyelesaikan apa bu?” Tanyaku.

“Taman ayahmu nak,” jawabnya. “Kau tahu, sehari sebelum wafat, ayahmu mengajak aku untuk melihat- lihat Kamboja Jepang dan Melati untuk ditanam di taman ini nak,” lanjut ibu, lirih.

“Kita tidak akan kesepian lagi nak, akan ada banyak bunga dan kupu kelak,” ujarnya lagi.

Aku tak menjawabnya. Sesaat, kulihat ibu tersenyum sambil kembali memandang lubang yang ternganga di hadapnya.

“Ya nak, sebentar lagi kita berdua akan punya taman. Tak lebar luas, kecil saja. Satu tak kehilangan lain dalamnya,*” matanya berbinar.

Aku tetap diam.

“Aku akan menyelesaikannya,” ibu berkata setengah berbisik.

“Kita bu. Kita akan menyelesaikannya,” aku menjawabnya sembari merangkul dan mengajaknya masuk.

Di luar, udara semakin dingin.

***
Seperti ayah, ibu tak main-main mewujudkan keinginannya untuk menyelesaikan taman yang direncanakan ayah. Sudah tiga hari ini ibu menyewa seorang tukang untuk meneruskan pekerjaan ayah, membuat sebuah kolam untuk melengkapi taman. Pula, kemarin kulihat ibu telah membawa pulang sebuah pot berisikan bunga Kamboja Jepang.

Aku sebenarnya senang-senang saja. Tapi aku juga sedikit was-was. Aku benar-benar tahu ayah dan ibu tak pernah sungguh-sungguh menyukai bunga. Terlebih membuat sebuah taman. Bagiku, taman, kolam, dan bunga-bunga itu tak lebih dari pertanda yang dirasakan oleh ayah menjelang kematiannya. Bukankah Kamboja dan Melati selama ini lekat dengan kematian? Entahlah. Yang pasti aku telah berjanji kepada ibu untuk membantunya menyelesaikan taman impian ayah. Taman yang kini telah pula dimimpikan oleh ibu.

Aku ingin ibu tak bersedih lagi. Aku akan membantu ibu menyelesaikan taman itu. Membantunya menanam banyak bunga dan mendatangkan banyak kupu.

***

Akhir-akhir ini, aku dengar orang-orang mengeluhkan tanggul situ yang retak lagi. Akhir tahun lalu, tanggul situ yang berada di dekat rumahku ini memang sempat jebol, meski tak ada korban jiwa. Oleh pemerintah, kerusakannya kemudian hanya diperbaiki sekedar saja. Tak heran sekarang, retakan-retakan baru mulai terlihat lagi. Kabarnya, retakan-retakan baru itu telah diberitakan berulang-ulang oleh warga. Tapi seperti biasa, pemerintah seolah tak punya telinga.

Aku tak begitu memedulikan retaknya tanggul situ . Semua tahu kalau situ ini memang sudah selayaknya dibenahi. Usianya sudah renta. Aku dengar dari ayah, situ ini dibuat oleh Belanda saat mereka masih bercokol di nusantara. Tapi untuk apa pula ikut berpusing-pusing mengharapkan pemerintah mengulurkan tangannya untuk membenahi hal-hal yang tak menghasilkan keuntungan bagi mereka? Pemerintah tentu saja lebih suka membangun mesin uang seperti taman wisata yang dibangun di sekitar situ daripada mengurusi retakan situ yang mungkin akan membahayakan kami. Lagipula, lebih baik memikirkan menyelesaikan tamanku, taman ibu.

Sore ini, aku berjalan menyusuri pinggiran situ. Kalau tidak salah, aku pernah melihat bunga bermacam warna tumbuh liar di pinggir-pinggir situ. Bunga Lantana. Orang-orang sekitar menyebutnya bunga tahi. Baunya busuk memang, tapi warnanya yang beragam membuat banyak kupu kerap singgah di atasnya. Aku ingin memetik bunga-bunga itu untuk kutanam di taman. Mungkin saja akan ada banyak kupu singgah ke taman seperti harapan ibu karena bunga ini. Maka, ketika aku menemukan bunga-bunga itu, cepat kucabut beberapa hingga ke akar.

Tak lama kemudian, kulihat langit perlahan menghitam. Aku bergegas pulang.

***

Sedari sore, hujan deras turun. Ibu telah tidur sedari tadi, setelah bersamaku memandangi air hujan mengisi lubang yang kini tak lagi menyerupai lubang kuburan. Adukan semen yang dibentuk menyerupai batang kayu telah melapisi lubang itu. Ibu mengabarkan kepadaku bahwa kolam itu akan telah selesai esok lusa. Dan ibupun telah membeli lagi sebuah pot bunga berisikan Melati. Ibu meletakkan pot itu sejajar dengan kolam, di samping bunga tahi yang tadi kuambil di pinggir situ.

Aku terus saja mengamati air hujan memenuhi kolam itu. Sampai kemudian kolam kecil itu tak lagi dapat menampung air hujan, dan akhirnya tumpah keluar.

Memandangi kolam itu, entah kenapa aku kembali teringat ayah.

***

Aku sempat mendengar suara gemuruh keras yang membuat aku terbangun dari tidur. Cepat kusadari, seisi kamarku telah penuh air. Untunglah aku masih sempat ke luar dari kamar dan menuju luar rumah. Di luar, dari arah situ, aku lihat air bah bergulung-gulung cepat menuju ke arahku. Aku panik. Aku teringat ibu. Dia pasti masih lelap di kamarnya. Namun sebelum aku sempat kembali ke dalam rumah untuk menyelamatkan ibu, aliran air yang seperti ombak besar tersebut menghantam tubuhku.

Pandanganku tiba-tiba gelap.

***

Aku terbangun dan mendapatkan diriku terbaring di atas ranjang rumah sakit. Jarum infus tertanam di lenganku. Pelan kusapukan pandanganku ke sekitar. Banyak orang juga terbaring lemah sepertiku. Di luar, kudengar jerit tangis yang sahut menyahut. Aku belum mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika melihat aku tersadar, seorang bapak menghampiriku. Ia tetangga sebelah rumah. Kulihat matanya merah. Ia memegang telapak tanganku sambil lalu terisak.

“Tabah ya nak,” ujarnya sambil terus menyeka air mata.

“Apa yang terjadi pak?”

“Kau selamat nak. Kau tersangkut di sebuah pohon ketika tubuhmu dibawa aliran air. Seseorang kemudian menyelamatkanmu. Tapi ibumu nak,” bapak itu tiba-tiba menghentikan perkataannya.

“Musibah apa pak? Ibu kenapa? Di mana dia pak?”

Bapak itu tetap terdiam. Air terus leleh dari kedua bola matanya. Ia lalu mengambil sebuah surat kabar dan menyerahkannya kepadaku.

Aku melihat potret situ yang tak lagi berbentuk terpampang di muka surat kabar. Barulah aku mengerti, ternyata tanggul situ kembali jebol. Aku lalu membaca berita di surat kabar itu. Banyak korban yang meninggal. Bahkan beberapa di antaranya belum diketemukan sampai sekarang. Aku lalu membaca tabel yang berisi daftar korban situ yang hilang. Ada nama ibu di situ.

Aku lemas. Tenggorokanku seperti tercekat. Kupandangi kembali potret situ yang diambil dari atas itu. Bentuknya seperti lubang yang digali oleh ayah.

Ah, takkan ada kolam, takakan ada taman, takkan ada lagi bunga, dan tak akan ada kupu. Air mata basah di pipiku.

Ibu..

***

Catatan:

*: Sajak Chairil Anwar berjudul Taman, dalam “Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi sajak 1942- 1949”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua Puluh, Jakarta, 2008. Hlm. 16.

1 komentar:

Witho mengatakan...

Cerita ini sungguh mengharukan.

Posting Komentar