Profil seorang sahabat, tentang mimpi dan dinamika hidupnya
Oleh: Arie Oktara
SENDI belum juga masuk Taman Kanak-kanak (TK). Tapi ia sudah tahu bahwa kesenian adalah hidupnya. Ia senang menggambar. Berpuluh-puluh buku gambar dan pensil warna ia habiskan untuk kesenangannya itu. Tahun 1989, ketika itu ia berumur 5 tahun. Ayahnya mengantarkannya ke TK Aisyah Bushtanul Athfal Bandar Lampung. Di sini, kegemarannya menggambar makin menguat. Dan ternyata ia berbakat. Ia kerap mewakili TK nya ketika ada lomba menggambar. Kelas 3 Sekolah Dasar, ia mulai melukis memakai kuas.
Sendi menghabiskan masa kecilnya di Kaliawi, tepatnya di Jalan Haji Agus Salim Gang Haji M Ali No 43 Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung. Sebuah perkampungan orang-orang Serang di Lampung. Mayoritas warga kampung ini miskin. Karenanya, lingkungannya keras. Karakteristik kampung ini berpengaruh ke dirinya. Selain senang menggambar, sendi kecil juga senang berjudi.
”Dari sebelum sekolah, gua udah kenal maen koprok,” ujarnya santai sambil tertawa.
Selain itu, Sendi kecil juga senang berkelahi.
”Biasalah, lu pasti udah pernah ngeliat anak-anak di lingkungan orang Serang. Gua juga begitu. Ngejer layangan terus berantem sampe pala’ bocor gara-gara satu layangan,” ujarnya.
”Sedikit nakallah,” sambungnya sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek Sampoerna Hijau yang tinggal setengah. ”Namanya juga anak kecil,” sambungnya lagi.
Namun siapa sangka, kenakalannya ketika kecil ternyata justru membuatnya menemukan bakatnya yang lain, musik. Sendi ingat, waktu itu ia hampir naik kelas 6 Sekolah Dasar dan mulai senang nongkrong dengan pemuda-pemuda kampung.
”Gua seneng liat dia orang[1] maen gitar,” katanya.
”Awalnya cuma ikut nyanyi-nyanyi doang. Tapi entah kenapa akhirnya pengen belajar,” lanjut Sendi.
Sendi pun meminta orangtuanya untuk membelikan gitar. Orangtuanya tidak mengabulkan, ia dimarahi. Sendi sedih, tapi tekadnya untuk belajar gitar sudah bulat. Sendi pun memberanikan diri untuk meminjam gitar pada pemuda-pemuda kampung. Namun ia diremehkan.
”Udah sih sana anak kecil,” ujar pemuda-pemuda kampung.
Sendi tak goyah. Ia tetap bersikeras meminjam gitar dan diajarkan bermain gitar sampai akhirnya mereka menuruti kemauannya. Sendi senang, gitar ia bawa pulang dan mulai belajar. Frekuensi nongkrongnya mulai ia tingkatkan. Perlahan ia mulai bisa bermain gitar.
”Pertama kali gua bisa maen gitar itu lagu Isabella,” kenangnya sambil tersenyum geli.
Ia tidak ingat siapa yang menyanyikan lagu itu. Ia hanya ingat rambut gondrong penyanyinya.
”Pokoknya waktu itu lagi jamannya lagu-lagu Malaysia,” ia menambahkan. Senyumnya makin lebar.
Gitar mulai menjadi teman baru Sendi. Buku gambar, pensil warna, serta kuas ia tinggalkan. Karena hobinya yang baru itu, nongkrong sambil bermain gitar dengan pemuda-pemuda di kampungnya, Sendi melupakan rutinitas lamanya: mengejar layangan, meski tetap suka berkelahi. Karena hobinya itu pula, Sendi sampai tak punya waktu lagi untuk berjudi. Anak kecil itu sudah punya prioritas. Nongkrong, bermain gitar, dan sesekali menghisap rokok. ”Bujang-bujang itu biasanya nongkrongnya malem,” kata Sendi.
TAHUN 1999. Ini tahun ketiga Sendi bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung. Sebentar lagi ia akan menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Ia gelisah, hatinya tidak tenang. Rupanya, bukan karena ujian akhir sekolah. Tapi karena ia belum juga memunyai gitar. Dia ingin sekali memiliki gitar, kepunyaannya sendiri. Sudah 3 tahun ia bisa bermain gitar, tapi masih pinjam sana-sini. Ini benar-benar mengganggu dirinya. Dan ia benar-benar meyakinkan diri bahwa tak ada obat lain untuk menenangkan pikirannya. Hanya gitar. Tidak perlu baru, pikirnya. Ia pun memulai pencarian. Sampai akhirnya sebuah gitar bermerk Suzuki menarik perhatiannya.
Sendi menghadap orangtuanya dan menyatakan keinginannya untuk membeli gitar itu. Sendi lupa, profesi ayah dan emaknya adalah guru Sekolah Dasar. Sedangkan EBTANAS semakin dekat. Mereka cemas, musik lebih Sendi pentingkan dari pendidikan. Seperti permintaan pertamanya, permintaan keduanya pun tidak dikabulkan.
”Sudah, nanti dulu. EBTANASnya lewatin dulu,” kata orang tua Sendi.
”Ga bisa, nanti ini laku. Diambil orang,” ujar Sendi mengulang adegan pertengkaran dengan orangtuanya.
”Pokoknya sampe ngambek-ngambekanlah. Gua sampe hampir ga negor orang tua gara-gara gitar itu,” ujarnya pelan.
Akhirnya orangtuanya mengalah. Uang untuk membeli gitar terpaksa diberikan. Ada dua alasan menurut Sendi. Yang pertama karena melihat keinginannya yang sangat besar untuk memiliki gitar. ”Gua dulu pas minjem gitar itu, gua sampe tidur dengan gitar. Gua kelonin tidur berhari-hari,” ujar Sendi sambil melingkarkan kedua tangannya dan memiringkan kepalanya ke arah kiri. Yang kedua: EBTANAS tinggal tunggu tanggal.
Namun bagaimanapun, Sendi menang. Setelah lama menunggu, penantiannya berakhir sudah. Gitar akustik Suzuki impiannya, yang tipenya tidak ia ingat lagi sudah ada dalam genggaman.
”Gitar itu gua beli second. Harganya 25 ribu. Stangnya udah patah. Stangnya udah banyak pakunya pokoknya,” Sendi bercerita dengan semangat.
Sampai sekarang, gitar itu masih dia simpan dengan baik di rumahnya di Lampung. Beberapa orang sepupunya sempat ingin mengambil gitar itu karena sayang melihatnya tidak terpakai. Tapi sendi tidak membolehkan.
”Mending[2] gua kasihin gitar gua yang sekarang daripada gitar itu,” ujarnya serius.
”Sejarahnya yang gua ambil,” kata Sendi kemudian, pelan.
Setelah memiliki gitar sendiri, Sendi makin giat berlatih. Niatnya makin kuat untuk menjadi seorang musisi handal.
TAHUN 2002. Sendi hijrah ke Yogyakarta. Meninggalkan Lampung dan gitar Suzukinya. Anehnya, bukan untuk bermusik, melainkan menuntut ilmu di jurusan Teknik Elektro AKPRIND Yogyakarta. Menuruti kemauan orangtuanya. Orangtuanya senang, sendi bukan lagi seorang calon musisi, ia calon insinyur.
Tahun 2006, aku kira ia hanya digoda ketika ia dipanggil ”junior” oleh Andri, kawannya.
”Woy mahasiswa baru!” teriak Andri memanggil Sendi.
Sendi hanya tersenyum. Malam itu ia mengenakan topi hitam berbordirkan gambar logo Institut Seni Indonesia. Wajahnya cerah. Ternyata ia diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Jurusan Etno- Musikologi.
17 Juni 2008. Malam itu Sendi tidak datang ke warung kopi Cangkir 70, warung kopi yang terletak di sebelah timur Komplek H Perumahan Angkatan Udara Republik Indonesia Janti, tempatnya bekerja. Ia libur. Ternyata ia di Alun-alun Selatan. Sedang ada pengajian Padang Bulan[3], pengajian dengan konsep menarik, saya dan beberapa kawan menyebutnya ”pengajian tanpa ngaji”. Menghubungkan diskusi, agama, dan musik yang diadakan oleh Emha Ainun Najib setiap tanggal 17 setiap bulannya. Sobaya, komunitas musik beranggotakan mahasiswa-mahasiswa ISI yang mengusung nasyid etnik, tempat ia sekarang getol berproses menjadi salah satu pendukung acara. Ia bermain biola malam ini. Alat musik yang mulai ia tekuni ketika akan mengikuti tes masuk ISI. Alat musik yang semakin hari makin membuat ia jatuh cinta. Walau begitu, gitar tetap ia mainkan.
21 Juni 2008. Pukul 20.00 saya sampai di warung kopi Cangkir 70. Warung masih sepi. Hanya dua pengunjung yang ada diwarung saat saya datang. Dua wanita yang asik berbincang diatas pondok bambu yang bermandikan sinar merah lampu. Sendi sudah di sana. Duduk di atas amben bambu di bagian selatan warung memakai kaus biru tanpa kerah bertuliskan ”SABURAI CUP 2007” dan celana hijau panjang bermotif loreng. Dia sedang menonton acara TV melalui layar putih 2x2 meter yang dipasang untuk nonton bareng EURO 2008, pertandingan sepakbola terbesar kedua sejagat. Setelah piala dunia tentu saja. Malam ini Belanda akan melawan Rusia.
Malam mulai merangkak, satu persatu pengunjung mulai memenuhi warung. Sejenak, ia sibuk melayani pesanan. Ketika ia sedang tidak melayani tamu, saya ajak dia mengobrol. Tentang proses bermusik yang telah ia jalani. Banyak hal yang ia ceritakan. Dan saya semakin mengenalnya. Paling tidak semakin yakin bahwa ia benar-benar memilih musik sebagai pilihan final untuk hidupnya. Ia kini tidak hanya memiliki gitar Suzuki. Ia sudah punya gitar akustik yang jauh lebih bagus dari gitar Suzuki, gitar elektrik, Sasando, Rebab, Suling Bali, Suling Lombok, Slompret Sunda, ,Saluang, Banzi, dan terakhir, alat musik yang paling dia sayang dan paling ingin ia kuasai: biola. Ia biasa memainkan biola itu dibelakang warung kopi ketika pengunjung sedang sepi. Kesemua alat musik itu ia kumpulkan dengan susah payah. Dari mengamen dan bayarannya ketika manggung.
Ia agak lama menjawab ketika aku tanya kepadanya: ”Sen, gimana kalau proses yang udah lu jalanin dimusik ternyata ga jadiin lu orang yang sukses menurut pengertian umum?”
Sesaat ia menjawab pelan: ”Resiko, itu udah pilihan. Minimal gua bisa makan. Kalau gua ga sukses dimusik, ya udah.”
”Tapi gua yakin, yang ‘di atas’ ngeliat proses gua”, katanya.
”Trus, gimana kuliah lu di teknik dan harapan orang tua lu?”
”Gua bakalan ambil jalan tengahnya” kata Sendi.
”Gua bakalan cari benang merah antara teknik yang gua ambil dengan seni yang gua ambil,” ujarnya lagi.
”Dan mungkin itu bisa jadi masterpiece gua”
Arie Oktara
[1] Mereka. Panggilan khas di Lampung.
[2] Lebih baik
[3] Bahasa jawa, artinya terang bulan.
Sabtu, Juli 05, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
asalam..hmm.. ini maksudnya dia msh ttp kull eletronya sembari kull ISI'n ya bang?
Kalau bener ia, ima acungin 4 jempol deh.. M A N T A P..
Tp ima pikir dia "menekuni musik" karena DIA BANGET.. bkn karena untuk dijadikan tujuan hidup or untuk menggapai kesuksesan dalam arti umum..
Semoga bisa seperti andrea hirata / Tere liye yang bisa ttp menggabungkn hobi menulis mereka dengan ilmu akademis yang mereka peroleh (amien) hingga menjadi suatu master piece yang bermanfaat untuk orang lain ^_^
saya kenal Sendi dengan istilah, "bisa mati gua bang."
Posting Komentar