sukmaku mengembara ke langit jelaga
mengumpulkan tanya yang berserak
di pekarangan swargaMu Tuan,
yang alangkah indah.
ruhku terbang menembus udara
mencari gelisah yang tualang di keabadian fanaMu Tuan,
yang alangkah riah.
jiwaku hilang menyelam samudera
menjaring gulana yang karam
di rahasia kedalamanMu Tuan.
oh, ragaku yang dahaga.
lalu aku lebur ke tanah,
yang adalah ibu segala muasal,
yang adalah Kau Tuan.
Kau, Tuan..
langit jelaga, udara, samudera, tanah,
ialah semesta yang meluluhkan
zatmu, zatKu, tuan.
Senin, Agustus 02, 2010
saat hujan menderas di pagi buta
sungguh ingin
ia terpejam seharian,
memimpikan segala rupa
isyarat purba.
: mungkin angin
yang riuh menderu,
mungkin daundaun
yang memucat abu,
mungkin rintih duka
di malam sendu,
atau rindu yang tertinggal
di sayap kupu.
namun pula ia sedang ingin
berlama terjaga.
: mencermati segala rupa cerita,
mengakrabi wajahwajah penuh rahasia,
mencermati suarasuara yang asing di telinga,
atau sekadar mengingat bayangan bekas kekasihnya,
yang mulai pudar dari kepala.
di luar, hujan bersandar
di bawah jendela.
ia terpejam seharian,
memimpikan segala rupa
isyarat purba.
: mungkin angin
yang riuh menderu,
mungkin daundaun
yang memucat abu,
mungkin rintih duka
di malam sendu,
atau rindu yang tertinggal
di sayap kupu.
namun pula ia sedang ingin
berlama terjaga.
: mencermati segala rupa cerita,
mengakrabi wajahwajah penuh rahasia,
mencermati suarasuara yang asing di telinga,
atau sekadar mengingat bayangan bekas kekasihnya,
yang mulai pudar dari kepala.
di luar, hujan bersandar
di bawah jendela.
Kosong
apa yang lebih cekam dari dendam?
mungkin bosan.
malammalam murung
tak lagi menusuk jantung.
ia telah meniru legenda
yang berulangulang diceritakan.
jemu.
asap rokok tak merimbun seperti biasa,
meski tlah berbatang.
meski beribu jengah genap terlampiaskan.
pada gemeretak kretek, pada abu,
pada rindu yang mengental di paru.
jengah.
cermin tak mampu lagi menangkap bayangan.
siapa aku? apa aku? mengapa aku? benarkah aku? salahkah aku? tuhankah aku? ibliskah aku?
aku siapa? aku apa? aku mengapa? aku benarkah? aku salahkah? aku tuhankah? aku ibliskah?
bayangan tak mampu lagi ditangkap cermin.
di kota ini hujan kerap datang tibatiba.
panas menyergap dada. baru saja.
o.. terang lampu.
pakaianpakaian yang menggantung di lemari baju.
jejakjejak di sepatu.
ayah. ibu. masa kecilku.
bagaimana cepat lelap di malam yang enggan jadi kelambu?
bulan merindu punguk. o..
mungkin bosan.
malammalam murung
tak lagi menusuk jantung.
ia telah meniru legenda
yang berulangulang diceritakan.
jemu.
asap rokok tak merimbun seperti biasa,
meski tlah berbatang.
meski beribu jengah genap terlampiaskan.
pada gemeretak kretek, pada abu,
pada rindu yang mengental di paru.
jengah.
cermin tak mampu lagi menangkap bayangan.
siapa aku? apa aku? mengapa aku? benarkah aku? salahkah aku? tuhankah aku? ibliskah aku?
aku siapa? aku apa? aku mengapa? aku benarkah? aku salahkah? aku tuhankah? aku ibliskah?
bayangan tak mampu lagi ditangkap cermin.
di kota ini hujan kerap datang tibatiba.
panas menyergap dada. baru saja.
o.. terang lampu.
pakaianpakaian yang menggantung di lemari baju.
jejakjejak di sepatu.
ayah. ibu. masa kecilku.
bagaimana cepat lelap di malam yang enggan jadi kelambu?
bulan merindu punguk. o..
Kamis, Februari 18, 2010
Tiga Sajak Pendek Tentang Rasa Yang Bergelayut di Dada
: untukmu..
sayang
tak pernah sampai aku
ke makna,
tiap kata ini terucap.
namun aku yakin,
sempat mengakrabinya.
bukankah ia yang mencipta bulan yang caya
di bening kau punya mata?
gelisah yang membasahi tiap jengkal kelopaknya,
membisakan aku berenang jelajahi luas samudera
Nya.
rindu
tak lagi ada suara kau.
keluh, cerita, atau sekadar tawa
yang kau selipkan di ujung canda.
kerap aku mengigau,
mungkin kau telah terbiasa, melumatkan duka
tanpa sudi aku kau serta.
sepi
selalu sempat kurapal
mantra sederhana
di pahit kopi yang kusesap,
di asap tembakau yang syahdu kulesap,
hanya sesia doa agar kau baik saja,
senaif pinta agar kau bahagia,
atau mungkin sekosong harap
hening ini takkan membunuhku segera.
sayang
tak pernah sampai aku
ke makna,
tiap kata ini terucap.
namun aku yakin,
sempat mengakrabinya.
bukankah ia yang mencipta bulan yang caya
di bening kau punya mata?
gelisah yang membasahi tiap jengkal kelopaknya,
membisakan aku berenang jelajahi luas samudera
Nya.
rindu
tak lagi ada suara kau.
keluh, cerita, atau sekadar tawa
yang kau selipkan di ujung canda.
kerap aku mengigau,
mungkin kau telah terbiasa, melumatkan duka
tanpa sudi aku kau serta.
sepi
selalu sempat kurapal
mantra sederhana
di pahit kopi yang kusesap,
di asap tembakau yang syahdu kulesap,
hanya sesia doa agar kau baik saja,
senaif pinta agar kau bahagia,
atau mungkin sekosong harap
hening ini takkan membunuhku segera.
mantra perdua malam
kopi
ada kenangan yang karam, mengampas di tubuhnya. kekelaman. kelingaran. mara.. o, luka. o, duka. tak seputih pun suka.
rokok
puih. mengasap buih. melenyap perih. meredam rintih. bergegas, tertatih. o, duhai kau yang mengaburkan nyata dan maya. kemana tuan hendak ajak hamba?
puisi
di tubuh kau semua bias. pias.
o, lekas..
ada kenangan yang karam, mengampas di tubuhnya. kekelaman. kelingaran. mara.. o, luka. o, duka. tak seputih pun suka.
rokok
puih. mengasap buih. melenyap perih. meredam rintih. bergegas, tertatih. o, duhai kau yang mengaburkan nyata dan maya. kemana tuan hendak ajak hamba?
puisi
di tubuh kau semua bias. pias.
o, lekas..
mohon awan pada hujan
: kau..
"jangan terburu ajarkanku
bagaimana menghapus kenangan,
rindu aku akanmu
belum tuntas kupuaskan"
januari, 2010
"jangan terburu ajarkanku
bagaimana menghapus kenangan,
rindu aku akanmu
belum tuntas kupuaskan"
januari, 2010
di taman
berapa lama kita tak bicara tentang hidup?
yang merindu redup demi redup.
(aku melihat daun yang menggugurkan dirinya. nanti ia akan jadi senyawa berguna bagi inang yang ia tinggal. sungguh, demi cinta ia rela tanggal)
sudah berapa dingin yang engkau cecap?
berapa gerah yang engkau resap?
(bungabunga di tamanmu mulai ngembang. mengungu, memerah,
biru..)
duhai kau yang mencumbu sepi,
nanti bakal ada senyap yang lebih duri.
(rumput liar yang hijau itu seakan enggan melepas napas. meski tubuhnya kau injak, kau tekan hingga lesak)
Desember 2009
yang merindu redup demi redup.
(aku melihat daun yang menggugurkan dirinya. nanti ia akan jadi senyawa berguna bagi inang yang ia tinggal. sungguh, demi cinta ia rela tanggal)
sudah berapa dingin yang engkau cecap?
berapa gerah yang engkau resap?
(bungabunga di tamanmu mulai ngembang. mengungu, memerah,
biru..)
duhai kau yang mencumbu sepi,
nanti bakal ada senyap yang lebih duri.
(rumput liar yang hijau itu seakan enggan melepas napas. meski tubuhnya kau injak, kau tekan hingga lesak)
Desember 2009
di pernikahan kau 2
di luar, hujan menderas. seakan ingin membilas sakit
yang tibatiba menoda di hati.
lengking rinainya seolah coba menghapus sepi
yang seketika menderas di nadi
kami.
tangantangan hujan yang makin rimbun
mengajakku cepatcepat pulang.
ia berbisik: “aku ingin membantu kau menyamarkan
air mata.”
“tak ada air mata,” kataku. “merasuk saja ke dirinya lekas. aku sungguh tahu, air mata
di hatinya lebih deras..”
tahukah kau hujan? suatu ketika, di waktu yang hendak samasama
kami lupa, kami lebih senang memelihara tawa.
lagipula, hari ini kami
sedang tidak ingin
berduka.
Desember 2009
yang tibatiba menoda di hati.
lengking rinainya seolah coba menghapus sepi
yang seketika menderas di nadi
kami.
tangantangan hujan yang makin rimbun
mengajakku cepatcepat pulang.
ia berbisik: “aku ingin membantu kau menyamarkan
air mata.”
“tak ada air mata,” kataku. “merasuk saja ke dirinya lekas. aku sungguh tahu, air mata
di hatinya lebih deras..”
tahukah kau hujan? suatu ketika, di waktu yang hendak samasama
kami lupa, kami lebih senang memelihara tawa.
lagipula, hari ini kami
sedang tidak ingin
berduka.
Desember 2009
di pernikahan kau
ketika kau ucap ayatayat syahdu,
tersadarlah aku;
tak ada yang selamanya,
yang kini, kelak akan menjadi purba.
ketika bibirnya mengecup lembut ujung dahimu,
pahamlah aku;
yang nyata adalah maya,
dan masingmasing kita dikutuk memahaminya.
ketika tak ada air mata deras di pipimu,
insyaflah aku;
tak guna duka di atas bahagia,
kita telah sama dewasa,
bukan?
tersadarlah aku;
tak ada yang selamanya,
yang kini, kelak akan menjadi purba.
ketika bibirnya mengecup lembut ujung dahimu,
pahamlah aku;
yang nyata adalah maya,
dan masingmasing kita dikutuk memahaminya.
ketika tak ada air mata deras di pipimu,
insyaflah aku;
tak guna duka di atas bahagia,
kita telah sama dewasa,
bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)