Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Sabtu, Juli 12, 2008

SENANG MEMILIKIMU, PHOENIX

Cerita Tentang Pengalaman Saya Bersepeda.

Oleh: Arie Oktara

11 JULI 2008. Sudah tiga hari ini saya bersepeda. Alasannya sederhana, saya butuh kendaraan untuk transportasi. Ban sepeda motor saya, Shogun hijau tahun 1999 (saya menamainya Menur) bocor. Entah kenapa, saya benar-benar malas untuk menambalnya. Sudah dua kali bocor, jadi saya pikir memang sudah saatnya ganti.

Tiga hari kemarin, saya main ke Asrama Mahasiswa Lampung, di Jalan Pakuningratan Nomor 7 Yogyakarta. Waktu hari mulai sore, telepon genggam saya berbunyi. Rupanya ada sms dari Dita, salah seorang kawan, cukup akrab. Kami membuka warung kopi bersama-sama, dengan tiga kawan lain, Sodik, Weli, dan Sendi. Rupanya Dita sedang sakit, dan mengusulkan untuk meliburkan warung kopi sehari saja.

Saya bingung, malam ini ada beberapa kawan yang berjanji datang ke warung. Tapi karena Weli dan Sodik belum ada di Yogyakarta, masih di Lampung (Ayah Weli sedang sakit, dan kerabat Sodik melangsungkan pernikahan), dan agak berat kalau cuma kerja berdua, akhirnya saya setujui usul Dita. Lagipula agak cape hari itu.

Saya bergegas ke kamar Sendi. Kamar kedua di sebelah Utara, lantai satu Asrama. Pintunya tertutup. Walau tidak dikunci, pintu kamarnya tidak bisa dibuka dari luar. Kuncinya rusak, jadi harus dibuka dengan anak kunci, atau dibuka dari dalam. Saya ketuk berkali-kali, tapi tidak juga ada jawaban. Pintu kamar tidak juga terbuka. Sendi kalau sedang tidur, gempa bumi pun susah membangunkan. Cara terakhir, lewat jendela depan. Setelah badannya saya goyang-goyangkan dari jendela, akhirnya Sendi bangun.

“Sen, Dita sakit. Warung libur aja?” Tanya saya sambil memperlihatkan telepon genggam.

Dia membaca sms sebentar.

“Hooh,” jawab Sendi sambil memutar badan membelakangi saya dan langsung tidur lagi. Luar biasa memang prestasi Sendi kalau urusan tidur.

Sesaat kemudian saya bingung lagi, malam ini tidak ada rencana kemana-mana. Akhirnya saya sms beberapa orang kawan. Perempuan tentu saja. Saya ajak mereka keluar. Ternyata semuanya ada acara. Harapan saya memanfaatkan waktu libur keluar dengan cewekpun gagal. Pilihan terakhir hanya satu tempat: kos Didik. Sudah lama juga tidak kesana.

“Kesana ah,” pikir saya .

Tapi kebingungan datang lagi. Naik apa? Saya ingat, Sepertinya ada sepeda tidak terpakai di Garasi asrama. Ternyata benar. Di sana saya lihat ada empat sepeda yang tidak terpakai. Terbengkalai, kotor bahkan. Dua sepeda balap (hijau dan merah), satu sepeda onthel, dan sepeda federal biasa.

Sepeda balap merah kepunyaan Asrowi, yang hijau kepunyaan Novan. Asrowi mudik ke Lampung, ada acara keluarga. Novan ke Pare, kursus bahasa Inggris, memanfaatkan libur kuliah. Sepeda milik Asrowi kondisinya lumayan, cuma ban depan agak gundul. Sepeda balap kepunyaan Novan kondisinya lebih baik dari kepunyaan Asrowi. Penampilannya masih terlihat sangar. Tapi waktu saya coba menaikinya, ternyata rantainya bermasalah. Tidak bisa berputar, rusak. Sepeda onthel milik Erwin (dia biasa dipanggil Jabrik) kondisinya parah. Stangnya sudah tidak simetris, joknya sudah goyang, di sana- sini karat, pokoknya perlu perjuangan keras untuk bisa mengendarainya dengan baik. Sepeda federal, saya tidak tahu siapa yang punya. Akhirnya,saya memutuskan untuk memakai sepeda Asrowi untuk ke kosan Didik.

KOSAN Didik di Jalan Kaliurang Km 4,5. Di depan Bank Bukopin Jalan Kaliurang ada swalayan Gading Mas. Tepat di samping selatan Gading Mas ada jalan masuk. Itu jalan ke kosan Didik. Lurus saja sampai ketemu turunan. Di awal turunan ada Fotokopi di sebelah selatan. Belok kanan di depannya, lalu belok kiri, sampai kosannya. Nomor G 5. Agak jauh dari asrama. Kalau dihitung-hitung sekitar 7 kilometer. Saya bersepeda kesana.

Sepeda Asrowi ternyata masih enak dipakai. Di jalan menuju kos Didik, saya beberapa kali berdiri dan mengayuh sepeda seperti berlari, agar lajunya kencang. Euforia barang baru. Haha.

Dan ternyata, naik sepeda itu menyenangkan. Apalagi kalau sembari mendengar musik. Waktu seperti berhenti. Gerak benda di sekitar kita seperti lebih lambat. Dan kita, dengan sepeda, seperti melaju lebih cepat. Berlebih memang deskripsinya, tapi itu yang saya rasakan.

Yang bikin susah saat bersepeda, tentu saja asap kendaraan. Wah, jengkel rasanya kalau sedang di belakang bis kota. Kadang kaget asap tiba-tiba mengepul tanpa aba-aba. Paru-paru langsung sesak karena terlalu banyak menghirup karbon dari asap bis yang hitam. Indonesia memang tidak bersahabat dengan alam. Setahu saya tidak ada peraturan yang mencantumkan berapa tahun maksimal kendaraan masih bisa dipakai di jalan raya. Hasilnya, mobil-mobil dan motor-motor tua yang seharusnya sudah pensiun masih merajalela di jalanan. Dan tentu saja, tidak lagi bersahabat dengan alam. Sumber polusi.

Dari asrama Lampung ke kosan Didik di Jalan Kaliurang, suasana yang paling asik saya rasa ketika melewati jembatan di Jetis. Kalau naik sepeda, tidak seperti mobil dan motor, kita bisa agak merapat ke pinggir jalan. Bahkan naik ke atas trotoar. Dari atas jembatan, pemandangan ke arah sungai benar-benar membuat hati saya damai. Walaupun air sungainya berwarna coklat. Tapi tetap saja, damai.

Di jalan, saya menyadari satu keadaan. Keangkuhan. Ternyata benar kalau kita memiliki lebih banyak dari orang lain, gigantisme, perasaan angkuh dan merasa lebih, merasuk. Beberapa mobil dan motor berkali-kali membunyikan klakson hanya karena saya terlalu lambat mengayuh sepeda. Padahal, saya sudah meminggirkan sepeda saya.

Awalnya, satu-dua kendaraan masih saya acuhkan. Tapi lama-lama kesal juga. Akhirnya ketika kendaraan ketiga, mobil Jazz plat B berwarna merah membunyikan klakson berulang-ulang dari belakang. Saya langsung merapatkan jari-jari ke arah dalam, menyisakan jari tengah, dan menunjukkannya ke arah mobil sambil berteriak: “ASU!!”

Tidak sesuai dengan perkiraan saya, suara klakson tidak berhenti, malah makin menjadi. Saya ngeri saja, tiba-tiba di tabrak dari belakang. Untung saja di depan ada jalan masuk ke arah Fakultas Farmasi UGM, saya langsung berbelok dan berhenti sebentar. Memandangi mobil Jazz merah. Pengemudinya (ternyata perempuan muda) menengok ke arah saya sambil menunjukkan juga jari tengahnya. Dasar, tak mau kalah.

Keadaan aman. Perjalanan kembali saya lanjutkan. Setelah sepuluh menit kembali mengayuh sepeda, saya sampai di kosan Didik.

Di kamarnya, Didik sedang mengutak atik gambar di Laptop. Dia sedang mendesain sesuatu. Didik memang tidak bisa dilepaskan dari komputer, dia seorang hacker.

Dulu dia sempat nakal. Kenakalan pertamanya waktu kelas 5 Sekolah Dasar. Orangtuanya pernah dipusingkan karena Didik berurusan dengan polisi. Dia “iseng” masuk ke sistem komputer PLN Bandar Lampung dan mengacak programnya. Hasilnya, aliran listrik di Bandar Lampung terputus selama seminggu. Masalahnya ternyata sepele. Aliran listrik di rumah Leonardo kawannya ketika kecil diputus. Didik kesal dan balas dendam ke PLN. Didik Kini Didik sudah tobat. Dia bekerja di Pantau sebagai web master.

“Halah, masih inget lu jalan kesini?” kata Didik. Saya cuma tersenyum.

“Wuih, banyak duit lu sepeda baru,” katanya. “Ga, sepeda temen,” jawab saya.

Saya masuk dan ngobrol ngalor ngidul dengan Didik. Ada Ian juga disitu, juga kawan saya.

Waktu semakin malam, segelas kopi dan berbatang-batang rokok sudah habis. Jam sepuluh malam saya pamit.

“Ngopi ga? Tika minta dianter ke kopi joss,” tanya saya. Waktu di jalan menuju kos Didik, Tika, kontributor tvOne dari Palopo Sulawesi Selatan, teman yang saya kenal di kursus narasi Pantau yang saya ikuti mengirim sms. Dia minta di antar ke angkringan Lik Man yang terkenal dengan kopi yang di campur dengan arang, di Utara Stasiun Tugu. Saya menyanggupi.

“Ga boy, ngantuk gua” katanya. Saya pun pergi. Ke kosan Tika, di daerah Seturan.

Saya ke Seturan lewat Selokan Mataram. Jalannya banyak yang rusak. Lumayan berat buat saya yang baru mulai bersepeda. Terlebih sepeda balap yang saya pinjam ban depannya sudah gundul. Saya beberapa kali berhenti, menunggu mobil atau motor lewat. Selain rusak, beberapa sudut jalan gelap. Karena itu, saya mengandalkan cahaya dari kendaraan yang melaju di situ.

Dua puluh menit kemudian saya sampai. Dari kosan Tika, kami naik motor ke Code. Kami tidak jadi ke angkringan Lik Man. “Ke Code aja, udah lama ga ke sana,” kata saya pada Tika. Sepeda saya titipkan di sana.

Pulang dari Code, dari Seturan saya lewat jalan yang sama. Jalanan sudah sepi. Beberapa kali sepeda yang saya tumpangi masuk lubang. Untungnya tidak sampai jatuh. Sebelum melewati jembatan di Selokan Mataram, saya dikagetkan dengan salakan dua anjing. Mereka ditaruh pemiliknya di halaman rumah. Pagar rumahnya pendek. Anjing yang lebih besar, sepertinya berjenis herder terlihat seperti ingin melompati pagar. Binatang yang saya takuti ada dua, anjing galak dan tikus besar. Saya mempercepat laju sepeda.

Badan sudah letih, tidak kuat rasanya menggenjot sepeda ke Asrama Lampung. Saya ke kosan Didik dan menginap di sana.

DUA hari kemudian, saya menginap di Asrama Lampung. Setelah bangun dan merokok, sekitar jam dua siang hasrat bersepeda kembali bergejolak. Saya ke garasi mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar asrama, tanpa punya tujuan. Di Tugu, saya punya ide untuk ke Terminal Terban. Saya ingat seorang kawan pernah memberitahu di belakang terminal ada toko sepeda bekas. Saya pikir tidak ada salahnya lihat-lihat. Siapa tahu ada sepeda murah.

Di Terban, saya tidak melihat satupun toko sepeda. Seorang ibu sedang merokok dengan asiknya di pinggir tumpukan sampah. Saya bertanya padanya. “Bu, tempat jual sepeda di sini di mana ya?” Kata saya. “Ga ada mas, coba cari ke Utara,” timpal si Ibu. Setelah berterimakasih, saya mengarah ke Utara. Ternyata sampai di Mirota Kampus, tidak ada toko sepeda. Saya kecewa, tapi masih ingin mencari sepeda. Perjalanan saya lanjutkan.

UGM, Kolombo, Demangan, dan tak terasa, sudah sampai depan Universitas Islam Negeri (UIN) di Jalan Solo. Tempat jual sepeda tidak juga saya lihat.

Sepeda terus saya kayuh. Setelah melewati jembatan di depan UIN, sekitar dua ratus meter di sebelah utara dari kejauhan saya lihat ada banyak sepeda anak kecil yang digantung. Akhirnya, ketemu juga.

Sepeda balap saya parkir. Dengan langkah pasti saya masuki toko sepeda. Dua orang lelaki sedang menyetel sepeda. Di dalam, banyak sepeda bagus. Tapi perhatian saya langsung mengarah ke tiga sepeda gunung yang disusun sejajar menghadap selatan. Sepeda gunung dengan stang tambahan yang menyerupai tanduk. Sangar, itu kesan pertama saya ketika melihat ketiganya.

Setelah sejenak melihat-lihat, saya hampiri seorang bapak tua. Rambutnya sudah memutih. Dari wajahnya, dia keturunan Tionghoa. Si bapak duduk di bangku menghadap meja dengan kertas kuitansi yang bertumpuk di atasnya. Sedang sibuk memencet-mencet tombol kalkulator.

“Yang itu berapa pak?” Tanya saya sambil menunjuk ke tiga sepeda gunung.

“Sing loro wolu ngatus. Sijine pitu ngatus,” jawabnya.

“Mahal amat,” kata saya lagi.

“Memang segitu mas,” katanya acuh.

“Wah, ga bawa duit segitu e pak,” kata saya sambil mengeluarkan uang yang ada di kantong depan celana. “Tuh,” saya tunjukkan dua lembar uang seratus ribu dan dua lembar uang lima puluh ribu.

“Yo, De Pe wae ra popo. Sisuk lunasi,” timpal bapak itu.

Saya berpikir agak lama. Saya ingat kalau tidak salah uang di kamar masih ada sekitar empat ratus ribu rupiah.

“Enam wis sing pitu ngatus,” kata saya. Bapak itu tersenyum.

“Ra iso e mas, saiki munggah kabeh. Kui barang terakhir,” katanya sambil menunjuk sepeda yang dihargainya tujuh ratus ribu rupiah.

Saya terus saja menawar. Tak terasa sudah hampir satu jam. Akhirnya setelah agak lama itu bapak itu menyerah. “Yo wis, enam atus selawe,” katanya. Saya setuju. Saya berikan uang tiga ratus ribu sebagai tanda jadi. Saya pulang bersepeda. Senang, akhirnya bakal punya sepeda baru. Tapi bingung, uang yang saya pakai untuk beli sepeda adalah jatah saya bulan ini. Sepertinya hari-hari kedepan pasti susah makan.

BESOKNYA, tanggal 11 Juli 2008. Saya bangun dengan segar. Walaupun tidak salat Jumat saya senang, hari ini saya mengambil sepeda.

Saya segera mencari Bang Iwan. Dia saudara jauh saya, tinggal di Asrama Lampung. Kemarin sepulang dari toko sepeda, saya cerita kepadanya kalau baru saja membeli sepeda baru dengan uang jajan.

“Hahaha, goblok,” katanya.

“Iya. Tapi biarin aja, udah terlanjut gua beli. Lu besok anterin gua ambil sepeda ya,” pinta saya.

“Ga tahu nih, gua kebelet bener tadi pengen beli sepeda,” kata saya lagi.

“Iya, tapi liat kondisi geh. Lu dari dulu begitu, kalo ada mau ga bisa entar-entar,” jawabnya.

“Udah, anterin aja,” kata saya. Dia tersenyum.

“Iya,” katanya.

Saya dan dia akhirnya berangkat ke Jalan Solo.

Uang tiga ratus dua puluh lima ribu saya berikan untuk melunasi sepeda itu. Sepeda gunung warna merah hitam, merk Phoenix. Seperti nama burung yang dalam mitos punya ekor dari api. Gearnya ada enam, dan ada persnellingnya. Mantap berkendara di atasnya. Dan yang paling saya banggakan selama dua hari sepeda itu menjadi milik saya, adalah benda bulat yang menempel di sebelah kiri ban depan.

“Ada cakramnya,” kata saya ke setiap kawan yang melihat sepeda baru saya.

Ada kawan yang menjawab begini: “Bagus sih sepedanya. Tapi lu ga bisa makan goblok.”

Saya cuma menjawabnya tenang: “Ya bisalah, kan bisa keliling kosan temen pake sepeda.”

Sepeda baru, semangat baru. Tapi ada satu hal yang mengganggu. Bagaimana nasib si Menur ke depan. Jelek-jelek begitu, dia sudah menemani saya sejak lama.

Tadi malam, selagi asik mengetik di warung. Bemi kawan yang tinggal satu tempat dengan saya, Asrama Lampung Selatan di Bangirejo mengirim sms ke telepon genggam saya.

“Bang, motor masih mau lo pake? Kalo gua bayarin ban depan lo gimana? Kan lo dah punya sepeda,” katanya.

Sedikit kesal saya jawab: “Gua masih punya duit”

Udara pagi makin dingin. Tak terasa sudah jam tiga. Setelah benah-benah warung, saya bergegas menghampiri si Phoenix. Melihatnya sebentar, dan kembali berkendara.

Sabtu, Juli 05, 2008

Sendi Dan Gitar Suzuki

Profil seorang sahabat, tentang mimpi dan dinamika hidupnya

Oleh: Arie Oktara

SENDI belum juga masuk Taman Kanak-kanak (TK). Tapi ia sudah tahu bahwa kesenian adalah hidupnya. Ia senang menggambar. Berpuluh-puluh buku gambar dan pensil warna ia habiskan untuk kesenangannya itu. Tahun 1989, ketika itu ia berumur 5 tahun. Ayahnya mengantarkannya ke TK Aisyah Bushtanul Athfal Bandar Lampung. Di sini, kegemarannya menggambar makin menguat. Dan ternyata ia berbakat. Ia kerap mewakili TK nya ketika ada lomba menggambar. Kelas 3 Sekolah Dasar, ia mulai melukis memakai kuas.

Sendi menghabiskan masa kecilnya di Kaliawi, tepatnya di Jalan Haji Agus Salim Gang Haji M Ali No 43 Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung. Sebuah perkampungan orang-orang Serang di Lampung. Mayoritas warga kampung ini miskin. Karenanya, lingkungannya keras. Karakteristik kampung ini berpengaruh ke dirinya. Selain senang menggambar, sendi kecil juga senang berjudi.

”Dari sebelum sekolah, gua udah kenal maen koprok,” ujarnya santai sambil tertawa.

Selain itu, Sendi kecil juga senang berkelahi.

”Biasalah, lu pasti udah pernah ngeliat anak-anak di lingkungan orang Serang. Gua juga begitu. Ngejer layangan terus berantem sampe pala’ bocor gara-gara satu layangan,” ujarnya.

”Sedikit nakallah,” sambungnya sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek Sampoerna Hijau yang tinggal setengah. ”Namanya juga anak kecil,” sambungnya lagi.

Namun siapa sangka, kenakalannya ketika kecil ternyata justru membuatnya menemukan bakatnya yang lain, musik. Sendi ingat, waktu itu ia hampir naik kelas 6 Sekolah Dasar dan mulai senang nongkrong dengan pemuda-pemuda kampung.

”Gua seneng liat dia orang[1] maen gitar,” katanya.

”Awalnya cuma ikut nyanyi-nyanyi doang. Tapi entah kenapa akhirnya pengen belajar,” lanjut Sendi.

Sendi pun meminta orangtuanya untuk membelikan gitar. Orangtuanya tidak mengabulkan, ia dimarahi. Sendi sedih, tapi tekadnya untuk belajar gitar sudah bulat. Sendi pun memberanikan diri untuk meminjam gitar pada pemuda-pemuda kampung. Namun ia diremehkan.

”Udah sih sana anak kecil,” ujar pemuda-pemuda kampung.

Sendi tak goyah. Ia tetap bersikeras meminjam gitar dan diajarkan bermain gitar sampai akhirnya mereka menuruti kemauannya. Sendi senang, gitar ia bawa pulang dan mulai belajar. Frekuensi nongkrongnya mulai ia tingkatkan. Perlahan ia mulai bisa bermain gitar.

”Pertama kali gua bisa maen gitar itu lagu Isabella,” kenangnya sambil tersenyum geli.

Ia tidak ingat siapa yang menyanyikan lagu itu. Ia hanya ingat rambut gondrong penyanyinya.

”Pokoknya waktu itu lagi jamannya lagu-lagu Malaysia,” ia menambahkan. Senyumnya makin lebar.

Gitar mulai menjadi teman baru Sendi. Buku gambar, pensil warna, serta kuas ia tinggalkan. Karena hobinya yang baru itu, nongkrong sambil bermain gitar dengan pemuda-pemuda di kampungnya, Sendi melupakan rutinitas lamanya: mengejar layangan, meski tetap suka berkelahi. Karena hobinya itu pula, Sendi sampai tak punya waktu lagi untuk berjudi. Anak kecil itu sudah punya prioritas. Nongkrong, bermain gitar, dan sesekali menghisap rokok. ”Bujang-bujang itu biasanya nongkrongnya malem,” kata Sendi.

TAHUN 1999. Ini tahun ketiga Sendi bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung. Sebentar lagi ia akan menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Ia gelisah, hatinya tidak tenang. Rupanya, bukan karena ujian akhir sekolah. Tapi karena ia belum juga memunyai gitar. Dia ingin sekali memiliki gitar, kepunyaannya sendiri. Sudah 3 tahun ia bisa bermain gitar, tapi masih pinjam sana-sini. Ini benar-benar mengganggu dirinya. Dan ia benar-benar meyakinkan diri bahwa tak ada obat lain untuk menenangkan pikirannya. Hanya gitar. Tidak perlu baru, pikirnya. Ia pun memulai pencarian. Sampai akhirnya sebuah gitar bermerk Suzuki menarik perhatiannya.

Sendi menghadap orangtuanya dan menyatakan keinginannya untuk membeli gitar itu. Sendi lupa, profesi ayah dan emaknya adalah guru Sekolah Dasar. Sedangkan EBTANAS semakin dekat. Mereka cemas, musik lebih Sendi pentingkan dari pendidikan. Seperti permintaan pertamanya, permintaan keduanya pun tidak dikabulkan.

”Sudah, nanti dulu. EBTANASnya lewatin dulu,” kata orang tua Sendi.

”Ga bisa, nanti ini laku. Diambil orang,” ujar Sendi mengulang adegan pertengkaran dengan orangtuanya.

”Pokoknya sampe ngambek-ngambekanlah. Gua sampe hampir ga negor orang tua gara-gara gitar itu,” ujarnya pelan.

Akhirnya orangtuanya mengalah. Uang untuk membeli gitar terpaksa diberikan. Ada dua alasan menurut Sendi. Yang pertama karena melihat keinginannya yang sangat besar untuk memiliki gitar. ”Gua dulu pas minjem gitar itu, gua sampe tidur dengan gitar. Gua kelonin tidur berhari-hari,” ujar Sendi sambil melingkarkan kedua tangannya dan memiringkan kepalanya ke arah kiri. Yang kedua: EBTANAS tinggal tunggu tanggal.

Namun bagaimanapun, Sendi menang. Setelah lama menunggu, penantiannya berakhir sudah. Gitar akustik Suzuki impiannya, yang tipenya tidak ia ingat lagi sudah ada dalam genggaman.

”Gitar itu gua beli second. Harganya 25 ribu. Stangnya udah patah. Stangnya udah banyak pakunya pokoknya,” Sendi bercerita dengan semangat.

Sampai sekarang, gitar itu masih dia simpan dengan baik di rumahnya di Lampung. Beberapa orang sepupunya sempat ingin mengambil gitar itu karena sayang melihatnya tidak terpakai. Tapi sendi tidak membolehkan.

”Mending[2] gua kasihin gitar gua yang sekarang daripada gitar itu,” ujarnya serius.

”Sejarahnya yang gua ambil,” kata Sendi kemudian, pelan.

Setelah memiliki gitar sendiri, Sendi makin giat berlatih. Niatnya makin kuat untuk menjadi seorang musisi handal.

TAHUN 2002. Sendi hijrah ke Yogyakarta. Meninggalkan Lampung dan gitar Suzukinya. Anehnya, bukan untuk bermusik, melainkan menuntut ilmu di jurusan Teknik Elektro AKPRIND Yogyakarta. Menuruti kemauan orangtuanya. Orangtuanya senang, sendi bukan lagi seorang calon musisi, ia calon insinyur.

Tahun 2006, aku kira ia hanya digoda ketika ia dipanggil ”junior” oleh Andri, kawannya.

”Woy mahasiswa baru!” teriak Andri memanggil Sendi.

Sendi hanya tersenyum. Malam itu ia mengenakan topi hitam berbordirkan gambar logo Institut Seni Indonesia. Wajahnya cerah. Ternyata ia diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Jurusan Etno- Musikologi.

17 Juni 2008. Malam itu Sendi tidak datang ke warung kopi Cangkir 70, warung kopi yang terletak di sebelah timur Komplek H Perumahan Angkatan Udara Republik Indonesia Janti, tempatnya bekerja. Ia libur. Ternyata ia di Alun-alun Selatan. Sedang ada pengajian Padang Bulan[3], pengajian dengan konsep menarik, saya dan beberapa kawan menyebutnya ”pengajian tanpa ngaji”. Menghubungkan diskusi, agama, dan musik yang diadakan oleh Emha Ainun Najib setiap tanggal 17 setiap bulannya. Sobaya, komunitas musik beranggotakan mahasiswa-mahasiswa ISI yang mengusung nasyid etnik, tempat ia sekarang getol berproses menjadi salah satu pendukung acara. Ia bermain biola malam ini. Alat musik yang mulai ia tekuni ketika akan mengikuti tes masuk ISI. Alat musik yang semakin hari makin membuat ia jatuh cinta. Walau begitu, gitar tetap ia mainkan.

21 Juni 2008. Pukul 20.00 saya sampai di warung kopi Cangkir 70. Warung masih sepi. Hanya dua pengunjung yang ada diwarung saat saya datang. Dua wanita yang asik berbincang diatas pondok bambu yang bermandikan sinar merah lampu. Sendi sudah di sana. Duduk di atas amben bambu di bagian selatan warung memakai kaus biru tanpa kerah bertuliskan ”SABURAI CUP 2007” dan celana hijau panjang bermotif loreng. Dia sedang menonton acara TV melalui layar putih 2x2 meter yang dipasang untuk nonton bareng EURO 2008, pertandingan sepakbola terbesar kedua sejagat. Setelah piala dunia tentu saja. Malam ini Belanda akan melawan Rusia.

Malam mulai merangkak, satu persatu pengunjung mulai memenuhi warung. Sejenak, ia sibuk melayani pesanan. Ketika ia sedang tidak melayani tamu, saya ajak dia mengobrol. Tentang proses bermusik yang telah ia jalani. Banyak hal yang ia ceritakan. Dan saya semakin mengenalnya. Paling tidak semakin yakin bahwa ia benar-benar memilih musik sebagai pilihan final untuk hidupnya. Ia kini tidak hanya memiliki gitar Suzuki. Ia sudah punya gitar akustik yang jauh lebih bagus dari gitar Suzuki, gitar elektrik, Sasando, Rebab, Suling Bali, Suling Lombok, Slompret Sunda, ,Saluang, Banzi, dan terakhir, alat musik yang paling dia sayang dan paling ingin ia kuasai: biola. Ia biasa memainkan biola itu dibelakang warung kopi ketika pengunjung sedang sepi. Kesemua alat musik itu ia kumpulkan dengan susah payah. Dari mengamen dan bayarannya ketika manggung.

Ia agak lama menjawab ketika aku tanya kepadanya: ”Sen, gimana kalau proses yang udah lu jalanin dimusik ternyata ga jadiin lu orang yang sukses menurut pengertian umum?”

Sesaat ia menjawab pelan: ”Resiko, itu udah pilihan. Minimal gua bisa makan. Kalau gua ga sukses dimusik, ya udah.”

”Tapi gua yakin, yang ‘di atas’ ngeliat proses gua”, katanya.

”Trus, gimana kuliah lu di teknik dan harapan orang tua lu?”

”Gua bakalan ambil jalan tengahnya” kata Sendi.

”Gua bakalan cari benang merah antara teknik yang gua ambil dengan seni yang gua ambil,” ujarnya lagi.

”Dan mungkin itu bisa jadi masterpiece gua”

Arie Oktara

[1] Mereka. Panggilan khas di Lampung.

[2] Lebih baik

[3] Bahasa jawa, artinya terang bulan.